Apakah Bupati Garut Aceng Fikri dapat Dimakzulkan?
Kolom

Apakah Bupati Garut Aceng Fikri dapat Dimakzulkan?

Menceraikan istri sirri melalui sms, berarti Aceng Fikri tidak menjalankan UU No. 1 Tahun 1974 selurus-lurusnya.

Bacaan 2 Menit
Apakah Bupati Garut Aceng Fikri dapat Dimakzulkan?
Hukumonline

Menurut penjelasan Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA pada Rabu, 23 Januari 2013 bahwa MA mengabulkan rekomendasi pemakzulan (pemberhentian) Bupati Garut HM Aceng Fikri yang dimohonkan DPRD Garut. Aceng dinilai melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena melanggar etika dan peraturan perundang-undangan. Karenanya, pemakzulan Aceng dinilai sah secara hukum. 

Saya belum baca putusan MA tersebut, tetapi penjelasan resmi dari Kepala Biro Hukum dan Humas MA tersebut kiranya patut dipercaya. Yang patut dipercaya bahwa putusan MA menetapkan bahwa pemakzulan Aceng Fikri dari jabatannya selaku Bupati Garut dinilai sah secara hukum. Alasan hukumnya bahwa Aceng Fikri dinilai telah melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena melanggar etika dan peraturan perundang-undangan.

Bagaimanakah bunyi sumpah jabatan itu? Pasal 110 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebagai berikut:

Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerahdengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”

Rumusan di atas dapat dipahami bahwa Aceng Fikri, ketika dilantik menjadi Bupati Garut telah mengucapkan sumpah/janji bahwa dia akan memenuhi kewajibannya sebagai Bupati Garut dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Pemenuhan kewajiban tersebut menurut MA tidak dapat dipisahkan antara kewajiban sebagai pribadi maupun kewajiban sebagai Bupati. Dengan demikian maka kewajiban Aceng Fikri untuk hidup berkeluarga termasuk melakukan pernikahan dan perceraian pun harus sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Jika tidak, maka ia dapat dinilai melanggar sumpah jabatan.

Pertanyaannya sekarang adalah apa ukuran pemenuhan kewajiban yang dikategorikan sebagai sebaik-baiknya dan seadil-adilnya itu? Memang ukuran baik dan adil adalah sangat relatif, artinya mungkin Aceng Fikri menilai perbuatannya sendiri baik dan adil, tetapi istrinya mungkin saja menilai perbuatan suaminya itu tidak baik dan tidak adil. Oleh karena itu ukuran yang harus dipakai adalah pihak ketiga, yaitu rasa keadilan masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Garut. Rasa keadilan masyarakat itulah syarat bagi setiap putusan hakim, mulai dari hakim pengadilan negeri sampai MA.

Kebenaran faktual dari berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, baik media domestik maupun luar negeri, bahwa perbuatan Aceng Fikri menceraikan Fany Octora, istrinya, dalam tempo empat hari setelah pernikahan, melalui sms, adalah perbuatan yang tidak baik dan tidak adil.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait