MK Batalkan Aturan Kriminalisasi Hakim
Utama

MK Batalkan Aturan Kriminalisasi Hakim

Aturan kriminalisasi hakim dalam UU SPPA melanggar kemerdekaan hakim.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
MK batalkan aturan kriminalisasi hakim. Foto: Sgp
MK batalkan aturan kriminalisasi hakim. Foto: Sgp

Para hakim yang menangani perkara anak boleh bernafas lega. Mereka tak perlu lagi khawatir dijerat sanksi pidana jika tak berupaya mendamaikan perkara dimana anak menjadi pelakunya. Mereka juga tak perlu takut diberi sanksi pidana jika tak segera mengeluarkan anak jika masa tahanannya habis. Atau tak perlu takut juga dijatuhi sanksi pidana bila tak segera memberikan petikan dan salinan putusan perkara anak.

Hal ini terjadi setelah MK membatalkan tiga pasal dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur sanksi pidana bagi hakim jika melakukan tiga pelanggaran seperti disebut di atas. Yaitu Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 UU SPPA.  

“Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 UU SPPA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (28/3).

Permohonan ini diajukan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang menilai ketiga pasal itu potensial melanggar prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas teknis yudisialnya di sistem peradilan pidana anak. Menurut IKAHI, ketentuan itu merupakan hukum acara untuk menegakkan hukum materil pidana anak yang seharusnya tidak bisa dipidana.

Kalaupun ada pelanggaran terhadap hukum acara, IKAHI berpendapat konsekuensi yang mesti ditanggung hakim adalah sanksi administratif. Sebab termasuk ranah pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang merupakan kewenangan MA dan KY. Dalam permohonannya, IKAHI minta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.  

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memperoleh jaminan konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dalam penyelenggaraan peradilan yang merdeka. Kemerdekaan ini mewajibkan hakim melaksanakan fungsinya agar tidak terpengaruh oleh siapapun.

“Kekuasaan kehakiman melarang setiap kekuasaan extra yudisial mempengaruhi atau lebih-lebih lagi turut campur kepada hakim sebagai pelaksana pelaksana kekuasaan kehakiman,” tutur Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki saat membacakan pertimbangan putusan.

Tags:

Berita Terkait