Bendera dan Lambang Aceh: Problem Hukum yang Tersisa
Kolom

Bendera dan Lambang Aceh: Problem Hukum yang Tersisa

Oleh:
Anggara
Bacaan 2 Menit
Bendera dan Lambang Aceh: Problem Hukum yang Tersisa
Hukumonline

Berdasarkan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh diberi sebuah status khusus dalam Negara Republik Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, Pemerintah Aceh berwenang untuk mengatur dirinya sendiri yang memiliki perbedaan dengan daerah otonomi lainnya di Indonesia.

Status khusus yang diperoleh Aceh diantaranya diperbolehkannya Aceh memiliki partai politik yang dilokalisir keikutsertaannya dalam pemilu di wilayah Aceh dan juga diperbolehkannya Aceh untuk memiliki lambang, bendera, dan lagu daerah yang berlaku secara khusus di Aceh.

Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, maka Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan DPR lalu mengundangkan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006. Sebagaimana dalam Nota Kesepahaman, UU Pemerintahan Aceh juga mengatur bahwa Aceh berhak memiliki Bendera, Lambang, dan Himne tersendiri yang tidak boleh dianggap sebagai lambang kedaulatan Aceh.

Namun, pada 10 Desember 2007 pemerintah juga mengeluarkan PP No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Regulasi ini melarang bendera, lambang, dan himne daerah memiliki persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan bendera, lambang, dan himne organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis.

Pada 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh bersama-sama dengan DPR Aceh telah mengesahkan Qanun No 2 Tahun 2013 tentang Penetapan Bendera dan Lambang Aceh Aceh. Bendera dan Lambang Aceh yang disahkan dalam qanun ini pada dasarnya adalah bendera dan lambang yang dahulu digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka. Pengesahan Qanun ini segera menuai kontroversi, yang tidak hanya datang dengan pemerintah pusat, namun juga datang dari masyarakat Aceh sendiri.

Pemerintah pusat termasuk beberapa elemen dalam masyarakat Aceh dan Indonesia dalam hal ini tetap bersikeras bahwa qanun mengenai bendera dan lambang Aceh tidak boleh melanggar PP No 77 Tahun 2007. Kementerian Dalam Negeri juga telah mengumumkan akan melakukan evaluasi terhadap Qanun Aceh yang mengesahkan bendera dan lambang Aceh yang dianggap terafiliasi dengan Gerakan Separatis. Sementara itu, Pemerintah Aceh seperti dikutip dari sejumlah media mengatakan penetapan lambang dan bendera ini sudah sesuai dengan aturan perundangan yang ada.

Keberadaan PP No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah sendiri merupakan turunan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan daerah dan juga pemerintahan daerah yang menyandang status khusus. Secara khusus, dalam penjelasan PP No 77 Tahun 2007 telah menunjuk bahwa “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.

Tags:

Berita Terkait