Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam RKUHP
Berita

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam RKUHP

Jenis sanksinya mulai dari denda hingga pembubaran korporasi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
KUHP lama belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum. Foto: SGP
KUHP lama belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum. Foto: SGP

Modus kejahatan kian berkembang. Kini, kejahatan tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan, tapi juga korporasi. KUHP yang berlaku selama ini hanya mengenal orang perseorangan sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan korporasi tidak dikategorikan sebagai subjek hukum.

Seiring banyaknya tindak pidana ekonomi, pertanggungjawaban pidana korporasi kini dituangkan dalam draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam  RKUHP, sebanyak tujuh pasal mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Tujuh pasal tersebut yaitu Pasal 47, 48, 49, 50, 51, 52, dan 53. Pasal 47 misalnya, menyatakan "Korporasi merupakan subjek tindak pidana".

Anggota tim perumus RKUHP Mudzakkir mengatakan, dalam rancangan regulasi itu mengatur dua subjek hukum yaitu orang perseorangan dan badan hukum.

Alasan korporasi menjadi subjek hukum dalam RKUHP, kata Mudzakkir, karena tindak pidana ekonomi banyak melibatkan korporasi. “Terutama yang berkaitan dengan duit, itu selalu ada hubungannya dengan korporasi,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Jumat (19/4).

Dalam tindak pidana ekonomi, korporasi acapkali dipersonifikasikan hanya pengurus yang dapat dijerat pidana. "Nah, perkembangan tindak pidana membuat hukum harus lebih maju," kata Mudzakkir.

Menurutnya, sebagai subjek hukum, korporasi dapat bertindak penuh dalam tindak pidana. Sehingga korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, tidak hanya pengurus korporasi.

Pasal 50 menyatakan, korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu melanjutkan, korporasi bersifat khusus. Pasalnya, subjek hukum korporasi bersifat abstrak. Oleh karena itu, kata Mudzakkir, hukuman yang dikenakan mulai  pidana denda, pengambilalihan korporasi hingga pembubaran korporasi.

Pengambilalihan, misalnya ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka korporasi yang bersangkutan di-take over oleh negara. Meski korporasi tetap beroperasi, namun aset perusahaan disita dan operasionalnya dikendalikan oleh negara. “Tapi kalau tidak dapat dilakukan, maka korporasi bisa dibubarkan,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut Mudzakkir, korporasi tak dapat dipidana penjara, tetapi hanya pidana denda. Tetapi, jika terdapat keterlibatan pengurus yang menyalahgunakan korporasi, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana untuk dan atas nama korporasi.

Pidana terhadap pengurus korporasi dapat dikenakan kurungan badan. Pasal 49 menyatakan, jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

“Jadi ada dua kemungkinan, pertama ada pengurusnya saja karena menyalahgunakan korporasi untuk kejahatan. Kedua, korporasinya bertindak untuk kepentingan korporasi. Misalnya, korporasi mencemarkan lingkungan hidup, maka korporasi yang dikenakan. Dalam kejahatan berat, maka korporasi dan pengurusnya juga bertanggungjawab,” jelasnya.

Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksono menyambut baik aturan tersebut. Menurutnya, aturan pidana korporasi yang dituangkan dalam RKUHP merupakan perkembangan hukum pidana. Pasalnya, selama ini korporasi tidak dikategorikan subjek hukum.

“Ini hal baru, karena pelaku kejahatan itu bukan hanya subjek orang perseorangan, tetapi lembaga atau korporasi,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu menambahkan, persoalan siapa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam pidana korporasi, dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan atau korporasi. Menurutnya, jika subjek hukumnya perseorangan, pidana korporasi dapat diwakilkan oleh pucuk pimpinan korporasi, misalnya direktur. Tetapi, pidana denda dikenakan terhadap korporasi.

Menurutnya, jika merujuk pada pasal pidana korporasi dalam RKUHP, bukan tidak mungkin korporasi yang melakukan tindak pidana dapat dibubarkan.

Dia berpendapat, aturan pidana korporasi sebenarnya sudah tersebar di beberapa  perundangan, misalnya UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Harry berpandangan RKUHP merupakan kodifikasi dari beberapa undang-undang yang tersebar. “RKUHP, pemerintah ingin meng-codified undang-undang yang ada sampai soal penanganan pidana korporasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait