RUU Perbankan Perlu Atur Pembentukan Bank Khusus
Berita

RUU Perbankan Perlu Atur Pembentukan Bank Khusus

Meski memiliki peluang yang besar, BI mengingatkan pembentukan bank khusus memiliki tantangan tersendiri.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Perbanas Sigit Pramono. Foto: SGP
Ketua Perbanas Sigit Pramono. Foto: SGP

Persatuan Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) mengusulkan agar dalam RUU Perbankan dimasukkan klausul mengenai bank khusus/fokus pada sektor tertentu. Menurut Ketua Perbanas Sigit Pramono, diperlukan payung hukum setingkat UU agar pembentukan bank khusus memiliki dasar hukum yang kuat dalam upaya berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.

Keberadaan perbankan khusus dapat mendorong pemerataan pembiayaan di berbagai sektor yang ada di tanah air. Sigit mengatakan, saat ini dalam struktur perbankan sudah ada bank-bank khusus seperti bank syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Tabungan Negara (BTN). Sayangnya, peraturan perbankan memberikan peluang lebih besar pada universal bank. Akibatnya, ciri-ciri khusus pada bank menjadi hilang.

"Saya rasa pembentukan bank khusus sebaiknya dimasukan ke dalam undang-undang. Jadi, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia) mengajak kita (Perbanas, red) untuk membahas agar memberi masukkan kepada pembentukan bank khusus dalam pasal-pasal di RUU Perbankan," kata Sigit dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (25/4).

Sigit menilai design universal bank sudah tak cocok lagi bagi perekonomian Indonesia yang majemuk. Terlebih, masih ada ketimpangan yang besar di antar daerah maupun antar sektor ekonomi. Atas dasar itu, perbankan Indonesia perlu diarahkan untuk membiayai sektor khusus, seperti sektor produksi sehingga dapat memberikan sumbangsih perekonomian yang baik dengan melayani segmen usaha mikro dan kegiatan usaha tertentu.

Menurut Sigit, adanya perbankan khusus diharapkan bisa memaksimalkan industri perbankan Indonesia. Karena pendanaan pada sektor tertentu menumbuhkan perekonomian yang merata. "Perbankan perlu diarahkan untuk membiayai sektor produksi, bukan konsumsi," katanya.

Sigit menjelaskan, hingga kini sektor-sektor utama pendukung pertumbuhan ekonomi hampir tidak memperoleh pembiayaan. Misalnya, sektor konstruksi yang berkisar di angka 3-5 persen, sektor listrik, gas dan air bersih hanya 1-3 persen dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya 4-7 persen.

Pemerataan juga muncul dari cara bank memberikan kredit ke sektor-sektor perekonomian. Menurut Sigit, akibat dari persaingan bank yang begitu besar maka bank-bank di Indonesia akan menggarap kredit yang paling diincar. "Padahal banyak sektor dan daerah yang bida didanai perbankan seperti di luar pulau jawa yang masih kecil konsentrasinya," ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait