RUU PPILN Belum Akomodir Kepentingan TKI
Berita

RUU PPILN Belum Akomodir Kepentingan TKI

Pekerja migran masih dipandang sebagai komoditas, namun minim perlindungan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
RUU PPILN Belum Akomodir Kepentingan TKI
Hukumonline

Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Retno Dewi, menyebut RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang saat ini dibahas DPR dan pemerintah belum memenuhi kepentingan pekerja migran, terutama soal perlindungan. Mantan pekerja migran ini menganggap pemerintah dan DPR belum paham akar masalah yang dihadapi pekerja migran.

Alih-alih mengutamakan perlindungan, Retno melihat RUU PPILN masih melihat proses migrasi yang dilakukan pekerja migran sebagai potensi untuk mendongkrak perekonomian Indonesia. Pasalnya, pekerja migran termasuk penyumbang remitensi terbesar. Retno memperkirakan setelah RUU itu disahkan, bakal muncul kebijakan turunan yang merugikan pekerja migran, namun dibalut dengan istilah “perlindungan.”

Misalnya sekarang, ada sistem online dalam pengelolaan pekerja migran yang dikelola Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Menurut Retno sistem tersebut ditujukan untuk menggalang data dan memproses penanganan kasus yang menimpa pekerja migran. Walau terkesan baik, tapi tanpa pengawasan yang jelas sistem tersebut dimanfaatkan oknum PJTKI dengan cara membebankan sejumlah biaya kepada pekerja migran.

Kemudian, KJRI Hongkong dirasa mendukung mekanisme itu. Dengan alasan mempermudah pendataan, KJRI menerbitkan kebijakan yang melarang pekerja migran untuk pindah ke agency lain sebelum kontrak habis. Tapi, praktiknya ketika ada pekerja migran hendak berpindah agency, ada pungutan yang nilainya jutaan rupiah. Itulah kenapa Retno melihat pemerintah masih memandang pekerja migran sebagai pendulang remitansi untuk ekonomi nasional, tanpa diberi perlindungan memadai.

Begitu pula dengan kebijakan Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN), Retno melanjutkan, pemerintah mewajibkan setiap pekerja migran Indonesia memiliki kartu tersebut dengan dalih perlindungan. Padahal, data yang termaktub dalam KTKLN sama persis seperti paspor. Walau BNP2TKI mengklaim KTKLN itu dapat diperoleh secara gratis, namun pekerja migran harus membayar dulu sejumlah biaya untuk premi asuransi.

Parahnya lagi, harga premi tak jelas, mulai dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah. “KTKLN diklaim untuk perlindungan tapi untuk bikin kartunya saja jadinya pemerasan terhadap pekerja migran,” kata Retno dalam diskusi di kantor Komnas Perempuan Jakarta, Kamis (16/5).

Retno menyebut dalih perlindungan juga terdapat dalam kebijakan terkait PJTKI. Menurutnya, selama ini untuk bekerja di negara penempatan, pekerja migran wajib menggunakan jasa PJTKI. Walau PJTKI disebut sebagai salah satu pihak yang melakukan perlindungan terhadap pekerja migran, namun Retno melihat hal tersebut sebagai bentuk lempar tanggungjawab perlindungan yang harusnya dilakukan pemerintah. Dari pantauan dan pengalamannya selama menjadi pekerja migran, Retno hampir tak pernah melihat PJTKI melakukan perlindungan seperti harapan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: