Ruang Publik Parameter Kebebasan Berekspresi
Berita

Ruang Publik Parameter Kebebasan Berekspresi

Publik, terutama di daerah kurang mendapat ruang untuk berekspresi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ruang Publik Parameter Kebebasan Berekspresi
Hukumonline

Anggota Komisi I DPR fraksi PDIP, Heri Akhmadi, mengatakan salah satu parameter melihat tingkat kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan memperhatikan sejauh mana akses masyarakat mempergunakan ruang publik. Misalnya frekuensi publik yang selama ini kerap digunakan televisi dan radio untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Ia berpendapat belakangan ini frekuensi publik terdistorsi oleh kepentingan pribadi pemilik media. Sehingga media sifatnya seolah menjadi pribadi dan partisan.

Padahal, ketika menggunakan ruang publik, Heri menilai pemilik media yang bersangkutan tak boleh memaksakan kepentingan pribadi. Misalnya, ada pemilik media yang bakal maju dalam Pemilu. Kemudian, secara intensif media tersebut memberitakan perihal tentang kegiatan politik si pemilik media. Ironisnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai badan yang mengurusi masalah penyiaran tak mampu berbuat banyak untuk mencegah hal tersebut.

Bahkan, Heri melihat ketika KPI bertindak sesuai kewenangannya dengan menerbitkan sejumlah peraturan, asosiasi televisi swasta menggugat hal tersebut. Akibatnya, upaya KPI untuk mengembalikan ruang publik menjadi milik masyarakat belum tercapai sesuai harapan. Parahnya, melihat ruang publik itu ditunggangi kepentingan pemilik media, para pekerja di media itu terutama wartawan, bergeming. Menurutnya, para pekerja media dapat bertindak mengawasi penggunaan ruang publik, khususnya yang dilakukan perusahaannya.

“Sebenarnya ruang publik milik masyarakat tapi sekarang dimiliki pemilik modalnya. Sayang, wartawannya diam, itu problem besar kita,” kata Heri dalam diskusi bertema kebebasan berekspresi yang digelar Elsam di Jakarta, Selasa (4/6).

Keluhan serupa menurut Heri juga disuarakan masyarakat di daerah. Seperti KPID Papua yang menyebut tak mampu menghentikan program acara yang disiarkan dari stasiun media di pusat (Jakarta). Akibatnya, media di daerah tidak dapat menjadi ruang bagi masyarakat daerah untuk mengekspresikan budaya dan keberagaman yang ada di tingkat lokal. Ia mengingatkan, ruang publik bukan hanya gelombang frekuensi, tapi juga medium lain seperti cetak dan internet.

Menurut Heri rakyat harus mengawal dengan serius agar peraturan yang ada dapat menjamin ruang publik untuk dimaksimalkan bagi publik dan bukan kepentingan pemilik media. Hal itu bagi Heri sangat penting mengingat saat ini arah ekspansi media menuju konvergensi. Yaitu mencakup semua ruang yang memungkinkan digunakan media seperti cetak, elektronik dan online.

Selaras dengan itu Heri menyebut saat ini DPR sedang membahas revisi UU Penyiaran. Namun, terjadi pergulatan yang sengit. Misalnya antara pandangan yang mendukung kepentingan pemilik media masuk dalam ruang publik dan pihak yang menginginkan ruang publik berada dalam genggaman masyarakat. Perbedaan pandangan itu menurutnya sudah terjadi bukan hanya di tingkat fraksi, tapi tim ahli di DPR.

Tags: