Seponering di Mata Wakil Jaksa Agung
Resensi

Seponering di Mata Wakil Jaksa Agung

Salah satu buku yang ditulis terkait kasus Bibit-Chandra. Ada bedah kasus dalam perspektif jaksa.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Wakil Jaksa Agung, Darmono, akan pensiun per 1 Juli 2013. Sebelum masa purnabhakti itu tiba, Darmono melahirkan sebuah karya berupa buku berjudul ‘Penyampingan Perkara Pidana, Seponering dalam Penegakan Hukum’.  Buku ini bukan saja penting karena ditulis seorang Wakil Jaksa Agung, tetapi juga karena merekam sebuah peristiwa hukum penting di Republik ini.

Kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, menyita perhatian banyak kalangan saat keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian pada 2011 silam. Nyaris menimbulkan polemik berkepanjangan, bahkan mengarah pada perseteruan institusional, kasus Bibit dan Chandra akhirnya ‘diselesaikan’ Kejaksaan Agung dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (SKP2). Ketetapan itu disebut seponering, atau lazim disebut deponering.

Tulisan ilmiah dan buku yang membahas kasus Bibit dan Chandra sudah cukup banyak. Karya Darmono ini hanya salah satu. Tetapi karena ditulis orang yang terlibat langsung dalam penyelesaian perkara tersebut, buku ini punya nilai lebih. Seperti tertulis dalam pengantar, terungkap bahwa usulan menerbitkan SKP2 justru datang dari Darmono. Ia mengakui keputusan menerbitkan SKP2 itu bukan pekerjaan mudah karena akan membawa implikasi. Seponering sudah ditetapkan, dan dua tahun sudah berlalu sejak kasus Bibit-Chandra dikesampingkan.

Seponering merupakan wujud pelaksanaan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung. Sesuai Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agung berhak mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Langkah itu dapat dilakukan setelah Jaksa Agung memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara (hal. 43).

Buku ini merekam kerancuan penggunaan istilah deponering di kalangan jaksa, yang kemudian coba dikoreksi oleh Prof. Andi Hamzah. Tulisan bahasa hukum seponering di hukumonline dijadikan rujukan dalam buku ini, meskipun secara salah telah dikutip pada footnote nomor 4 halaman 46. Namun bukan kerancuan istilah itu yang layak digarisbawahi. Justru penggunaan wewenang seponering itulah yang terutama patut diperhatikan.

Judul

Penyampingan Perkara Pidana, Seponering dalam Penegakan Hukum

Penulis

Darmono

Penerbit

Solusi Publishing, Depok

Cet-1

2012

Halaman

208

Dalam praktek, diakui penulis, masih sering timbul masalah ketika kewenangan penuntutan jaksa bersinggungan dengan aparat penegak hukum lain, terutama kepolisian. Masalah bisa timbul dalam hal-hal berikut. Pertama, koordinasi penyelesaian berkas perkara antara kejaksaan dan penyidik kepolisian pada tahap prapenuntutan (bolak-balik berkas).

Tags:

Berita Terkait