Dakwaan Jaksa 'Kampung' Bikin Hakim MA Pusing
Jeda

Dakwaan Jaksa 'Kampung' Bikin Hakim MA Pusing

Lantaran jaksa kejar setoran penyelesaian perkara.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Dakwaan Jaksa 'Kampung' Bikin Hakim MA Pusing
Hukumonline

Acara 'coffee morning' para hakim MA di kamar pidana sejatinya hanya membahas seputar uang pengganti. Namun, acara ini digunakan juga oleh salah satu hakim untuk mencurahkan isi hatinya seputar dakwaan jaksa selama ini.

Si hakim mencurahkan hatinya kepada perwakilan Kejagung dan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang hadir dalam pertemuan. Apalagi, ICW selama ini dianggap kerap mengkritik putusan-putusan hakim yang tak pro pemberantasan korupsi.

Hakim ad hoc tipikor pada MA, Syamsul Rakan Chaniago menuturkan bahwa banyak dakwaan jaksa yang kualitasnya sangat buruk sehingga kerap membingungkan majelis hakim.

Padahal, lanjut Syamsul, dakwaan sangat penting dalam proses persidangan. Ia mengibaratkan hakim sebagai koki, dan jaksa menyediakan bahan atau bumbu racikan berupa dakwaan. Bila bumbunya buruk, tentu hasilnya juga buruk.

"Selama ini hasil penyidikan atau rumusan dakwaan dari KPK dan Kejaksaan dari kota-kota besar memang banyak yang bagus. Tapi, kalau kita lihat dakwaan dari jaksa di kampung-kampung itu, membacanya saja sangat ruwet dan memusingkan," ungkapnya.

Syamsul menuturkan dengan kualitas dakwaan seperti itu, maka akan susah membuktikannya. Para, anggota majelis pun harus berdebat tak menentu. "Nanti bila kita putus, kita yang dicaci maki, padahal kami memutus berdasarkan rumusan dakwaan dari JPU," ujarnya.

Lebih lanjut, Syamsul juga berpesan kepada LSM yang sering mengkritik putusan hakim. Secara khusus, ia menyampaikannya kepada perwakilan ICW yang hadir dalam pertemuan itu.

"Jadi begitu Emerson, para jaksa ini perlu dibersihkan dan dicerdaskan dari  bawah sehingga kita bisa menghasilkan putusan yang memenuhi keadilan publik," tuturnya.

Syamsul memberi contoh beberapa kasus yang ditanganinya. Ada jaksa yang berpendapat selisih harga dari toko satu ke toko lain sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi.

"Padahal beda harga di pasar, sah-sah saja," ujarnya.

"Itu di Kajari Bogor. Terdakwa beli meteran air di toko. Harganya lebih tinggi bila dibanding dia beli di koperasi. Lalu, dianggap korupsi oleh jaksa bogor. Kan kasihan," tuturnya.

Kasus lain di kota Pematang Siantar yang menjebloskan seorang ibu Kepala Sekolah dalam kasus dana BOS. Si kepala sekolah membelikan taplak meja dan memperbaiki meja-meja yang rusak dengan dana tersebut.

"Dia dikenakan Pasal 2 (oleh jaksa). Kita putus terpaksa empat tahun penjara. Kasihan padahal hanya 5,8 juta. Kalau kita bebaskan ribut," tuturnya.

Lebih lanjut, Syamsul menuturkan dia sampai tak bisa tidur ketika memutus perkaranya di MA. Ia harus memutus tiga tahun penjara, padahal yang dikorupsi hanya Rp 12 juta.

"Saya selalu berdoa, Ya Allah ampunilah dosa-dosa saya selama memutus di MA," ujarnya.

Lebih lanjut, Syamsul menilai banyaknya kualitas dakwaan yang buruk ini karena jaksa ‘kejar setoran’ karena konsep 5-3-1 ala (mantan) Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dengan konsep itu, maka dalam setahun, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) ditargetkan menggarap lima kasus korupsi (hingga) penuntutan.

Sedangkan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dibebankan tiga kasus dan satu kasus dibebankan kepada Kepala Cabang Kejari. “Kosep 5-3-1 pak Hendarman ini memusingkan kami,” tuturnya.

Mendengar curhatan Syamsul, Direktur Upaya Hukum dan Eksekusi Kejagung Puji Basuki yang hadir dalam acara di MA itu tidak berkomentar banyak. Dia hanya terlihat mengangguk.

Berdasarkan catatan hukumonline, konsep 5-3-1 ini memang sempat menuai kritikan. Pasalnya, jaksa hanya dibebani kuantitas perkara dibanding kualitas dakwaan. Belakangan, konsep ini dicabut oleh Jaksa Agung Basrief Arief.

Tags: