Hasil Investigasi Kecelakaan Antariksa Bukan Alat Bukti
Berita

Hasil Investigasi Kecelakaan Antariksa Bukan Alat Bukti

Tanggung jawab terhadap kerugian akibat kecelakaan benda antariksa di bumi bersifat mutlak. Penyelesaiannya bisa dilakukan secara diplomatik.

Oleh:
MYS/M-15
Bacaan 2 Menit
Hasil Investigasi Kecelakaan Antariksa Bukan Alat Bukti
Hukumonline

Pemerintah dan DPR sudah menyetujui bersama RUU Keantariksaan untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Keputusan ini sudah diketuk, tinggal menunggu nomornya dalam Lembaran Negara. Undang-Undang ini penting bagi Indonesia sebagai negara yang aktif di dunia keantariksaan (berupa satelit).

Indonesia juga sudah meratifikasi Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya 1967 melalui UU No. 16 Tahun 2002. Sayang, perhatian kalangan hukum terhadap materi Undang-Undang tersebut terbilang minim padahal banyak isinya yang bersinggungan dengan hukum acara, khususnya pidana.

Salah satunya adalah larangan menjadikan hasil investigasi kecelakaan atau bencana serius dalam kegiatan keantariksaan di wilayah kedaulatan Indonesia. Larangan itu tertuang dalam Pasal 62 ayat (1): “Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan”. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut maksud pasal ini dan batas-batas kerahasiaannya.

Hadi Rahmat Purnama, dosen Hukum Udara dan Ruang Angkasa FH Universitas Indonesia, menduga aturan tersebut berkaitan dengan kerahasiaan. “Kalau masalah rahasia itu kan agak sulit dipublikasikan di hadapan publik,” ucapnya kepada hukumonline.

Dugaan Hadi mungkin ada benarnya jika dihubungkan dengan ayat (2) Pasal 62 UU Keantariksaan, yang menyebut ‘hasil investigasi yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia dapat diumumkan kepada masyarakat’. Namun rumusan ayat (1) dan ayat (2) berbeda sasaran. Ayat (1) lebih menitikberatkan pada larangan menggunakan hasil investigasi dijadikan alat bukti di persidangan; sedangkan ayat (2) lebih fokus pada kemungkinan mengumumkan kepada masyarakat bagian-bagian informasi yang bukan rahasia.

Rumusan yang berisi larangan hasil investigasi tak bisa dijadikan alat bukti di persidangan juga bisa ditemukan dalam Pasal 359 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Ayat (2) Pasal ini juga memungkinkan orang mengakses hasil investigasi yang tidak digolongkan sebagai informasi rahasia.

Pengamat konsumen, Tulus Abadi, menduga perlindungan kepentingan nasional berada di balik rumusan Pasal 62 UU Keantariksaan. Ia dapat memahami jika hasil investigasi bersifat tertutup, dalam arti tak bisa dibawa ke pengadilan karena ada kepentingan nasional yang harus dilindungi. Tetapi menurut Tulus, harus ada indikator mana informasi yang tertutup. “Seharusnya juga ada indikator-indikator mana yang bisa dikategorikan informasi tertutup,” ujarnya kepada hukumonline.

Tags:

Berita Terkait