Wilayah Abu-Abu BUMN Dalam UU Keuangan Negara
Berita

Wilayah Abu-Abu BUMN Dalam UU Keuangan Negara

Regulasi tak harmonis mencerminkan legislasi yang tidak mapan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Wilayah Abu-Abu BUMN Dalam UU Keuangan Negara
Hukumonline

Perdebatan tentang kekayaan negara dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah menjadi isu lama dan mendapat tanggapan dari beberapa pihak. Saat ini, revisi UU Keuangan Negara tengah dibahas oleh DPR RI.

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinilai tidak memiliki pengertian yang jelas terhadap kekayaan negara. Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara menjelaskan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, yang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.

Sesmen BUMN periode 2005-2010, Muhammad Said Didu menilai bunyi pasal tersebut menyebabkan para penegak hukum menafsirkan bahwa semua pengelolaan kekayaan Negara di BUMN harus mengikuti mekanisme pengelolaan keuangan negara. Padahal, semua perusahaan BUMN harus tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. "Pengertian kekayaan negara dalam UU Keuangan Negara terlalu luas," kata Said Didu dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu (24/7).

Pertentangan terjadi tatkala penegak hukum dan pengelola BUMN menggunakan dasar hukum yang berbeda namun keduanya sama-sama benar. Penegak hukum menggunakan UU Keuangan Negara sementara pengelola BUMN menggunakan UU BUMN. Meskipun pada pasal 3 UU BUMN menjelaskan terhadap BUMN berlaku UU ini, anggaran dasar, dan ketentuan perundangan lainnya, namun pada penjelasan pasal 3 ditegaskan bahwa yang dimaksud peraturan perundangan lainnya adalah UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, termasuk perubahannya serta peraturan perundangan sektoral yang mengatur bidang usaha BUMN dan swasta.

Said Didu melanjutkan, akibat lainnya, dari dua UU yang saling bertentangan ini adalah posisi abu-abu perusahaan BUMN antara hukum publik dan hukum privat. Menurut Said Didu, ketika sebuah perusahaan telah menandatangani akta perusahaan kepada notaris, maka berlaku hukum privat. Namun pada praktiknya, status utang dan piutang BUMN menjadi tidak seimbang. Ketika perusahaan BUMN masuk sebagai kekayaan negara, maka seluruh utang BUMN menjadi utang negara. Sayangnya, hingga saat ini negara tidak mengakui utang BUMN sebagai utang negara tetapi mengklaim piutang BUMN sebagai piutang negara.

"Posisi ini tidak adil, harusnya kalau negara menyatakan BUMN adalah kekayaan negara, harus siap dengan segala kerugian sebaliknya," jelas Said Didu.

Ini bukan berarti BUMN lepas dari jerat hukum jika tidak menjadi bagian dari kekayaan negara. Menurut Said Didu, sanksi hukum tetap dapat dikenakan kepada pihak yang dengan sengaja menjual saham milik negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait