‘Kecelakaan Sejarah’, Surakarta Masuk Jateng
Berita

‘Kecelakaan Sejarah’, Surakarta Masuk Jateng

Karena Surakarta pernah dijanjikan dijadikan pemerintahan tersendiri.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
‘Kecelakaan Sejarah’, Surakarta Masuk Jateng
Hukumonline

Dosen Sejarah Universitas Airlangga Purnawan Basundoro berpendapat dimasukannya wilayah Surakarta ke dalam Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan “kecelakaan” sejarah. Fakta itu mengingkari Maklumat Presiden No. 1 Tahun 1946 dan Penetapan pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 tentang Pemerintah di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta tanggal 15 Juli 1946.

“Soalnya, ketentuan itu menyebutkan pembentukan Karesidenan Surakarta hanya untuk sementara waktu saja sampai diterbitkannya undang-undang tentang Kasunanan dan Mangkunegara,” kata Purnawan dalam sidang pleno lanjutan pengujian UU No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah di Gedung MK, Senin (19/8).

Menurut Purnawan, salah satu poin penting dari penetapan pemerintah ini adalah dibentuknya Karesidenan Surakarta yang dikepalai oleh seorang Residen. Dengan ditetapkannya jabatan Residen, maka jabatan Komisaris Tinggi di Surakarta dihapus.

Dalam salah satu klausul Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 ini menyebutkan: “Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan UU, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan karesidenan dikepalai oleh seorang residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang residen di Jawa dan Madura luar daerah Surakarta dan Yogyakarta.”

Dia menjelaskan selain menetapkan Surakarta sebagai Karesidenan, Penetapan Pemerintah No. 16/SD/ Tahun 1946 juga membentuk pemerintahan baru di Kota Surakarta yang dikepalai seorang Walikota. Berdasarkan kutipan itu pembentukan Karesidenan Surakarta tidak bersifat permanen, melainkan hanya sementara sebelum ada undang-undang yang secara khusus menetapkan daerah Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegara) sebagai pemerintahan sendiri.

Namun, ternyata pemerintah tak pernah mengeluarkan undang-undang yang mencabut status “sementara” itu, sehingga Surakarta tetap berstatus Karesidenan sampai dikeluarkannya undang-undang yang mengatur eksistensi Karesidenan yakni UU No. 22 Tahun 1948.       

“Setelah UU No. 22 Tahun 1948 terbit status “sementara” juga tidak berubah hingga saat ini. Padahal, undang-undang itu telah memberi jalan terbentuknya pemerintahan istimewa,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Permohonan ini diajukan Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah (putri Susuhunan Paku Buwono XII) dan Kanjeng Pangeran Eddy S Wirabhumi (ahli waris dinasti Keraton Surakarta). Lewat pengujian Bagian ‘Memutuskan’ angka I dan Pasal 1 UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah yang memasukkan Surakarta bagian dari Jawa Tengah, mereka menuntut agar Keraton Surakarta ditetapkan sebagai daerah istimewa, seperti halnya Yogyakarta.  

Soalnya, Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 dan Surat Wakil Presiden Tahun 12 September 1949, dan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah mengakui dan menetapkan status Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah istimewa.

Menurutnya, ketidakjelasan status hukum Daerah Istimewa Surakarta, Keraton Surakarta telah kehilangan haknya mengelola atau mengatur tanah-tanah Sunan Ground dan tidak pernah dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu, pemohon meminta MK membatalkan frasa “dan Surakarta” dalam Bagian Memutuskan angka I dan Pasal 1 UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah karena bertentangan dengan UUD 1945.

Tags: