Kasus Cebongan, Bukti UU Peradilan Militer Perlu Direvisi
Berita

Kasus Cebongan, Bukti UU Peradilan Militer Perlu Direvisi

Peradilan militer dinilai belum mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kasus Cebongan, Bukti UU Peradilan Militer Perlu Direvisi
Hukumonline

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil reformasi sektor keamanan menilai putusan atas kasus penyerangan lapas Cebongan menunjukan UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer perlu direvisi. Menurut anggota koalisi dari Imprasial, Al Araf, vonis kasus cebongan melukai rasa keadilan publik karena tidak menghadirkan keadilan bagi korban. Al melihat vonis tertinggi dalam kasus itu dijatuhkan kepada Serda Ucok Tigor Simbolon yaitu 11 tahun penjara dan dipecat dari kedinasan militer.

Menurut Al, kasus penyerangan lapas Cebongan itu dilakukan secara berencana dan mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Pantasnya, Al melanjutkan para pelaku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sebab, kasus tersebut motifnya lebih serius. “Lapas diserang, inikan penyerangan terhadap institusi penegakkan hukum,” kata Al dalam jumpa pers di kantor Imparsial Jakarta, Senin (9/9).

Dari awal persidangan Al menilai peradilan militer yang berjalan menutupi suatu konstruksi peristiwa dari kasus penyerangan lapas Cebongan. Ujungnya, peradilan gagal meminta pertanggungjawaban komando yang secara struktural berada di atas para pelaku. Bagi Al, hal tersebut patut dipertanyakan karena ia yakin seorang komandan mengetahui pergerakan anggotanya. Setidaknya, dalam peradilan itu komandan yang dua tingkat di atas para pelaku harus dihadirkan memberikan keterangan. Seperti komandan pleton dan kompi. Sayangnya, sepanjang proses persidangan berlangsung, hal itu tidak terjadi.

“Jadi kami lihat peradilan militer itu klise, peradilannya hanya diarahkan kepada prajurit di lapangan. Itu catatan buruk peradilan militer,” ujar Al.

Mengingat ada hal yang tidak diungkap di persidangan, Al merasa banyak persoalan yang tidak terpenuhi dalam peradilan tersebut. Ia melihat proses itu terjadi karena penelusuran untuk mengadili kasus Cebongan hanya didasarkan pada pengakuan para tersangka dan minim pengembangan. Misalnya, di persidangan ada tindakan intimidatif terhadap para pengunjung dan majelis hakim. Akibatnya, peradilan yang dihasilkan tidak memberi rasa keadilan kepada korban dan publik.

Hasil persidangan kasus penyerangan lapas Cebongan mengingatkan Al pada persidangan serupa yang melibatkan anggota militer. Seperti kasus pembunuhan Theys Eluay, dimana para pelaku dihukum ringan. Selaras dengan itu Al menyebut koalisi mendesak pemerintah dan DPR memprioritaskan revisi peradilan militer. Jika revisi itu tak kunjung dilakukan maka pemerintah dan DPR melanggar konstitusi. Sebab, konstitusi mengamanatkan semua warga negara Indonesia posisinya sama dihadapan hukum. “Pemerintah dan DPR mengingkari konstitusi,” tukasnya.

Untuk mencegah terjadinya hasil persidangan pada peradilan militer yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan publik, koalisi mendorong UU Peradilan Militer segera direvisi. Al mencatat revisi itu hampir final di tahun 2004. Setelah itu, menjelang Pemilu 2009, revisi UU Peradilan Militer mandeg sampai sekarang. Padahal, tinggal beberapa pasal lagi yang harus disepakati. Seperti siapa yang berwenang melakukan penyidikan, apakah polisi militer atau yang lain.

Tags:

Berita Terkait