Lemah, Penegakan Hukum bagi Korban KDRT
Berita

Lemah, Penegakan Hukum bagi Korban KDRT

Korban malah sering dikriminalisasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Lemah, Penegakan Hukum bagi Korban KDRT
Hukumonline

Komnas Perempuan menuntut aparat penegak hukum serius menindak para pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tercatat sejak tahun 2001 sampai Juni 2013 terjadi 71 kasus kriminalisasi korban kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, tujuh kasus diantaranya, korban dikriminalisasi menggunakan UU Penghapusan KDRT.

Menurut anggota Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, kriminalisasi terhadap korban itu terjadi sejak 2009. Bentuk kriminalisasi yang terjadi diantaranya korban KDRT dilaporkan kembali oleh pelaku atau keluarga pelaku dengan dasar UU PKDRT.

Nurherwati melihat UU PKDRT merupakan terobosan hukum karena menempatkan KDRT sebagai sebuah delik pidana/kejahatan. Padahal sebelumnya KDRT dilihat hanya sebagai persoalan pribadi atau privat. Dalam rangka mendorong agar peraturan itu dilaksanakan dengan baik, Komnas Perempuan sudah melakukan berbagai hal, salah satunya menjalin kerjasama dengan institusi penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai MA. Namun, sampai sekarang kerjasama itu dirasa belum sesuaiharapan.

Dalam kasus KDRT, Nurherwati melihat proses penyelesaiannya hanya mengutamakan aspek hukum dan meminggirkan keadilan bagi korban. Misalnya, dalam menangani sebuah perkara, aparat penegak hukum hanya melihat unsur pidana, jika terpenuhi maka langsung diproses. Parahnya, tak jarang ditemukan aparat penegak hukum tidak dapat membedakan mana korban dan pelaku. “Ujungnya, 10 persen korban malah dipidanakan,” katanya dalam jumpa pers di kantor Komnas Perempuan Jakarta, Kamis (12/9).

Pada kesempatan yang sama anggota Komnas Perempuan lainnya, Ninik Rahayu, berpendapat iktikad baik kaum perempuan yang menjadi korban KDRT untuk melaporkan kasus yang menimpanya tidak disambut baik aparat penegak hukum. Misalnya, korban diberi beban yang banyak dalam rangka memenuhi unsur normatif dalam delik pidana dan tidak mendapat pendampingan serta informasi yang cukup soal hukum.

Akibatnya, banyak perempuan korban KDRT surut langkah ketika ingin memperjuangkan haknya lewat proses hukum. Ditambah lagi stigma dari keluarga kepada korban, seperti dituding melawan suami dan menyebarkan tabu karena berselisih rumah tangga. Mengacu kondisi yang menyudutkan korban KDRT itu Ninik menemukan seringkali para korban menghentikan proses hukum yang berjalan sekalipun sudah masuk persidangan.

Merujuk hal tersebut, Ninik mengatakan aparat penegak hukum harusnya menjalankan UU PKDRT dalam perspektif perlindungan. Misalnya memberikan pendampingan kepada korban, penguatan psikologis dan membentuk rumah perlindungan untuk melindungi korban dari pelaku KDRT. Sayangnya, dalam melaksanakan tugas, aparat penegak hukum sering tidak paham bagaimana mengurusi kasus KDRT.

Tags:

Berita Terkait