Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kolom

Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Dengan dibukanya pintu mengawasi MK, bukan tidak mungkin akan melahirkan pengawas untuk KPK.

Bacaan 2 Menit
Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Hukumonline

Pemberitaan media massa di Indonesia akhir-akhir ini sangat mengejutkan kita selaku anak bangsa. Sangat menyesakkan dada tentunya mendengar seorang pejabat tinggi negara yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Akil diduga telah ‘menjual keadilan’ terkait penanganan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dan di samping itu, ditemukan pula obat terlarang (narkoba) di dalam ruang kerja Akil.

Sebagian kalangan baik para ahli hukum maupun masyarakat awam berpandangan bahwa dengan peristiwa ini, kepercayaan masyarakat akan pudar terhadap salah satu lembaga negara yang dikenal memiliki integritas dan kredibilitas sangat baik selama ini. Ada juga yang berpendapat dengan berapi-api bercampur kekecewaan dan emosional yang tinggi menyatakan sebaiknya MK ini dibubarkan saja.

Tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa peristiwa ini adalah sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa karena ternyata lembaga negara yang selama ini diagung-agungkan tersebut terbongkar juga perilakunya, sehingga negara sesegera mungkin dapat memperbaiki sistem yang sudah terjangkit virus korupsi dan narkoba ini, paling tidak untuk mengembalikan kredibilitas dan kehormatan lembaga negara penjaga Konstitusi ini.

Konstitusionalitas Pengawasan terhadap MK
Selama ini, MK adalah salah satu dari dua lembaga negara yang sangat vital keberadaan dan pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak diawasi oleh suatu lembaga apapun. Oleh karena itu, sudah seharusnya lembaga ini diisi oleh manusia “setengah malaikat” atau “manusia setengah dewa”. Sebelum ketentuan terkait pengawasan terhadap MK dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat (inkonstitusional) oleh Putusan MK No: 005/PUU-IV/2006, dahulu lembaga ini diawasi oleh lembaga negara yang bernama Komisi Yudisial (KY) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Hal ini tentu saja dapat dimaknai bahwa MK memang benar-benar ingin menunjukkan dan meyakinkan masyarakat bahwa mereka Hakim Konstitusi, kepaniteraan maupun staf kesekretaritan dan staf lainnya adalah benar-benar para manusia “setengah malaikat” atau “setengah dewa”.

Dalam perkembangan terbaru, sejak ditangkapnya Ketua MK oleh KPK karena diduga “memperdagangkan keadilan Konstitusi”, Presiden RI langsung melontarkan rencana menerbitkan PERPPU guna mengembalikan adanya lembaga eksternal yang melakukan pengawasan terhadap MK dalam rangka membenahi lembaga itu. Namun sebagian pihak justru mengatakan ini akan menjadi jalan atau pintu masuk untuk mengerdilkan atau mengkriminalisasi kewenangan KPK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait