UU Keolahragaan Dinilai Belum Mendukung Sepakbola
Berita

UU Keolahragaan Dinilai Belum Mendukung Sepakbola

Polisi dipersilakan menindak pemain yang berkelahi di lapangan.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum PSSI Djohar Arifin (kiri). Foto: SGP
Ketua Umum PSSI Djohar Arifin (kiri). Foto: SGP

Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Djohar Arifin Husin mengatakan kegiatan sepakbola memerlukan aturan dan kekuatan hukum untuk melindungi penyelenggara, pemilik klub, pemain, dan penonton yang terlibat di dalamnya.

“Mereka perlu perlindungan hukum. Karenanya, pertemuan ini sangat penting,” ujar Djohar kepada hukumonline, di sela-sela jamuan makan malam Konferensi Internasional Hukum Olahraga di Bali, Senin (28/10).

Djohar menjelaskan dari aspek aturan, Indonesia kini sudah berada di depan dalam perhelatan internasional. “Kita sudah merapat ke FIFA, UEFA dan (organisasi sepakbola,-red) benua lainnya. Kita harus bisa mensejajarkan diri,” tuturnya.

Lebih lanjut, Djohar menilai UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional belum cukup memadai untuk mendukung kegiatan sepakbola. Ia mengatakan PSSI melengkapinya dengan mengacu ke aturan badan tertinggi sepakbola, Fédération Internationale de Football Association (FIFA).

“Jadi, tak semua yang ada di UU Keolahragaan bisa menampung apa yang dibutuhkan dalam kegiatan sepakbola. Oleh karena itulah, perlu aturan FIFA yang sangat luas,” tuturnya.

Djohar mencontohkan semangat FIFA untuk memerangi rasialisme. Meski di sepakbola Indonesia sikap rasis tidak terlihat, lanjut Djohar, tetapi Indonesia harus mulai memikirkannya sejak dari sekarang. “Indonesia itu banyak suku dan agama. Itu tak boleh terjadi di sini. Karenanya, kita perlu lebih awal menutup peluang-peluang rasialisme di Indonesia,” tuturnya.

Lebih lanjut, Djohar mengatakan pencegahan aksi rasis memerlukan aturan yang jelas. “Perlu ada perlindungan hukum dan sanksi kepada yang berbuat itu, baik kepada klub atau penonton. Mudah-mudahan di Indonesia tak ada kejadian seperti ini. Kita harus siapkan perangkatnya,” jelas Djohar. 

Perkelahian Pemain
Contoh lainnya adalah perkelahian pemain di lapangan. Djohar berpendapat persoalan ini perlu ditingkatkan ke kriminal atau hukum pidana. Ia mempersilakan pemain atau wasit yang dianiaya melaporkan ke kepolisian. “Jadi, tak sembarangan orang seenaknya memukul wasit, memukul sesama pemain. Penonton merusak. Kita jalur hukum positif. Kita arahkan ke sana saja,” tuturnya.

Meski PSSI bisa memberi sanksi secara organisasi, lanjut Djohar, bukan berarti polisi tak bisa menindak pelaku keributan. “Kalau ada wasit merasa teraniaya melaporkan ke polisi, silakan saja. Bagus saja. Supaya ada efek jera. Di samping sanksi organisasi, silakan yang merasa dirugikan melapor ke penegak hukum, karena kita negara hukum,” tukasnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, kewenangan polisi menindak pelaku keributan di lapangan sepakbola sebenarnya masih menimbulkan pro kontra. Ada yang menolak ‘keterlibatan’ polisi untuk menindak perkelahian di lapangan. Menurut mereka, ada aturan di dalam sepakbola yang dikecualikan dari hukum, dengan menggunakan istilah lex sportiva

Tags:

Berita Terkait