Kalangan Perbankan Butuh Kepastian Perlindungan Hukum
Berita

Kalangan Perbankan Butuh Kepastian Perlindungan Hukum

Seiring beragam kasus kredit macet yang kian menjadi masalah nasional.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Kalangan Perbankan Butuh Kepastian Perlindungan Hukum
Hukumonline

Kalangan perbankan di Indonesia sangat membutuhkan adanya kepastian perlindungan hukum seiring beragam kasus kredit macet yang kian menjadi masalah nasional. Hal ini disampaikan Perwakilan Bank Indonesia, Titien Sumartini, Senin (18/11).

"Kini persoalan kredit macet bukan hanya merupakan masalah perbankan semata. Akan tetapi ikut menghambat perkembangan perekonomian di Tanah Air," kata Titien.

Apalagi, ungkap dia, lembaga perbankan yang selama ini melayani nasabah di penjuru Nusantara juga bertindak selaku pemegang agunan. Khususnya jaminan atas sejumlah dana yang dipinjam masyarakat melalui program penyaluran kredit.

"Namun, ketika terjadi kredit macet maka bank yang mempunyai kedudukan sebagai kreditur pemegang hak tanggungan pertama punya hak untuk menjual obyek jaminan Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri," ujarnya.

Salah satunya, jelas dia, melalui pelelangan umum dan pihaknya berhak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hal itu juga berlaku saat debitur dalam keadaan pailit seperti diatur pada ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang jo Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

"Aturan itu menunjukkan bahwa undang-undang mengakui hak separatis bagi kreditur pemegang hak tanggungan. Sementara, pelaksanaan eksekusi lelang hak tanggungan merupakan konsekuensi logis dari penandatanganan atas perjanjian kredit oleh kreditur/bank dengan debitur/penanggung hutang saat manakala debitur 'wanprestasi'," tuturnya.

Pada kesempatan sama, Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI, Kurnia Ratna Cahyati membenarkan dalam perjanjian kredit maka bank selalu menghendaki agar nasabah selaku penanggung/penjamin hutang dapat mengembalikan hutang pokok serta bunganya tepat waktu.

"Meski begitu, sampai sekarang yang sering terjadi justru ada sejumlah tunggakan pembayaran dari pihak nasabah dengan berbagai alasan," ucapnya.

Akibatnya, tambah dia, jumlah utang pokok maupun bunga penanggung utang semakin meningkat dibandingkan pinjaman dana awal. Kondisi itu yang memunculkan kredit tidak lancar atau kredit macet.

"Untuk mengantisipasi kredit macet, idealnya kalangan perbankan selektif dalam menyalurkan kredit," tukasnya.

Bahkan, kata dia, perlu menerapkan prinsip kehati-hatian saat menganalisa calon debiturnya yakni meliputi karakter, kapasitas, modal, kondisi, dan jaminan. Prinsip itu dijelaskan pada pasal 2 jo penjelasan pasal (8) UU Perbankan dan idealnya diterapkan oleh bank sebelum dilakukan penandatanganan perjanjian kredit antara kreditur dengan pihak nasabah.

"Contoh, bank bisa memberlakukan prinsip itu ketika mempertimbangkan jaminan hutang berupa barang bergerak maupun tidak bergerak milik nasabah debitor/penjamin hutang. Mayoritas bank lebih memilih barang tidak bergerak seperti hak atas tanah sebagai agunan/jaminan utang yang kemudian disebut hak tanggungan," ujarnya.

Apabila pinjaman kredit debitur terjadi "wanprestasi", lanjut dia, tindakan eksekusi lelang hak tanggungan adalah sarana untuk melakukan penjualan obyek jaminan hutang milik debitur atau pemilik jaminan. Eksekusi tersebut biasanya direalisasi oleh Pejabat Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

"Biasanya, saat eksekusi lelang terhadap hak tanggungan sering terjadi masalah yang mengakibatkan tindakan itu menjadi batal. Misalnya, ketika ada gugatan dari pihak ketiga," katanya.

Tags:

Berita Terkait