KPPU: Perlu Harmonisasi Hukum Persaingan Usaha di ASEAN
Berita

KPPU: Perlu Harmonisasi Hukum Persaingan Usaha di ASEAN

Masih ada beberapa negara ASEAN yang belum memiliki hukum persaingan usaha.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
KPPU: Perlu Harmonisasi Hukum Persaingan Usaha di ASEAN
Hukumonline
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengundang perwakilan negara-negara anggota ASEAN untuk mengharmonisasikan hukum persaingan di masing-masing negara.

Inisiatif ini diambil untuk menjawab tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 mendatang. Organisasi ASEAN juga dianggap lamban menjawab isu-isu persaingan usaha di regional, sehingga KPPU berinisiatif mengundang para perwakilan itu tanpa melewati mekanisme organisasi ASEAN. 

“Mudah-mudahan negara lain tidak menerjemahkan Indonesia ingin mengambil alih kepemimpinan ASEAN,” tutur Ketua KPPU Nawir Messi saat konferensi pers di National Bussiness Dialogue “Facing ASEAN Integration: Competition Perspective” di Jakarta, Selasa (17/11).

Pada 2015, negara-negara ASEAN akan menghadapi The ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mengintegrasikan seluruh negara ASEAN ke dalam satu pasar. Nawir memprediksi persoalan yang akan semakin timbul dari kebijakan ini adalah adanya transkasi lintas batas negara.

Nawir mengatakan MEA akan menyebabkan para pelaku usaha di negara-negara ASEAN dapat melakukan transaksi-transaksi bisnis di negara mana saja yang mereka sukai. Memang, tujuan MEA cukup baik, yakni mempermudah pelaku usaha menjalankan bisnisnya. Namun, tujuan ini akan berubah mengerikan apabila tidak ditunjang dengan hukum persaingan yang mampu memberikan aturan main yang jelas secara global kepada seluruh pelaku usaha.

Tanpa aturan main yang jelas, lanjut Nawir, para pelaku usaha dapat secara bebas melakukan transaksi-transaksi lintas batas yang dapat menghancurkan pasar domestik Indonesia. Bahkan, ini dinilai dapat mengontrol jutaan populasi Indonesia.

“Contoh saja merger atau akuisisi. Apa jadinya jika ada merger akuisisi besar-besaran yang terjadi di Malaysia dan Singapura? Akan terjadi gangguan gangguan terhadap pasar domestik,” ucap Nawir.

Karenanya, Nawir menyatakan pentingnya harmonisasi atau penyeragaman beberapa aturan tentang hukum persaingan usaha di negara anggota ASEAN. Ketiadaan harmonisasi tersebut akan merumitkan sebuah komisi pengawas persaingan usaha di suatu negara ketika memberikan hukuman kepada pelaku usaha yang nakal. “Ini perlu dijawab sesegera mungkin,” ujarnya.

“Bayangkan, kita hukum pelaku usaha tersebut di Indonesia, tetapi dibebaskan di Singapura. Jadi, harmonisasi perlu agar putusan tidak sia-sia,” tukasnya.

Keruwetan mengenai transaksi lintas batas ini semakin bertambah dengan ketiadaan hukum persaingan usaha di beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Misalnya, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Namun, lanjut Nawir, lima negara ini akan segera melahirkan hukum persaingannya.

Nawir juga mengkritik negara sendiri dengan menyatakan Indonesia juga lamban dalam mempersiapkan diri. Ia mengatakan hukum persaingan usaha Indonesia juga perlu direvisi, khususnya klausul mengenai definisi yang tegas tentang “pelaku usaha” dan “pasar yang bersangkutan”. Pelaku usaha tidak lagi hanya pelaku usaha domestik, tetapi termasuk asing. Sedangkan pasar yang bersangkutan bukan hanya pasar di Indonesia, tetapi juga merambah di negara- negara terkait.

Managing Partner Competition Consulting Asia, Ian McEwin melihat persoalan utama hukum persaingan di negara ASEAN adalah ketiadaan harmonisasi terhadap aturan persaingan usaha. Ada perbedaan aturan main di masing-masing negara. Salah satu yang ia soroti adalah penyalahgunaan dominasi.

Di Indonesia, jelas Ian, dominasi ini dibedakan menjadi dua yaitu monopoli atau monopsoni dan penyalahgunaan posisi dominan. Keadaan yang dilarang dari monopoli atau monopsoni adalah mengontrol produksi, pasar, atau perolehan barang dan jasa. Sedangkan penyalahgunaan posisi dominan adalah mengontrol lebih dari 50 persen pasar yang bersangkutan.

Sedangkan, Singapura tak membedakan itu. Singapura hanya mengatur satu macam dominasi, yaitu penyalahgunaan posisi dominan. Namun, hal tersebut meliputi perusahan-perusahaan yang dominan di pasar luar negeri lainnya, tetapi tidak termasuk exploitative pricing. Begitu juga halnya aturan mengenai merger yang terdapat perbedaan.

Terhadap perbedaan ini, McEwin melihat belum ada komitmen dari ASEAN untuk mengharmonisasikan kebijakan lintas negara dan hukum persaingan usaha ini. Padahal, hukum persaingan usaha adalah alat yang sangat penting dalam bisnis. Ibarat permainan sepakbola, hukum persaingan sangat perlu mengatur mengenai tata cara permainan, sikap para pemain, dan sanksi ketika para pemain lain yang menendang pemain lain.

“Hukum persaingan usaha ibarat football games, perlu pengaturan sikap para pemain,” tutur McEwin kepada hukumonline usai diskusi.
Tags:

Berita Terkait