Dua Profesor Hukum Bicara tentang Privatisasi Air
Berita

Dua Profesor Hukum Bicara tentang Privatisasi Air

PP Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) bertentangan dengan putusan MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Dua Profesor Hukum Bicara tentang Privatisasi Air
Hukumonline
Sidang lanjutan uji materi UU No. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) kembali digelar di MK. Agenda sidang kali ini mendengarkan beberapa ahli yang diajukan para pemohon, Muhammadiyah Dkk. Diantaranya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Prof Absori dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof Suteki.

Dalam keterangannya, Absori menilai Pasal 9 ayat (1) UU SDA membuka peluang privatisasi pengelolaan sumber daya air oleh swasta. Sehingga, cenderung mengabaikan peran badan usaha negara, BUMN dan BUMD, seperti diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

Dia menuturkan kalaupun negara berperan dalam soal pemberian izin pengelolaan air, dalam praktik selama ini pemberian izin hanya bersifat prosedural dan formal. Sementara pengawasan di lapangan lemah yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya air tak terkendali.

Misalnya, di beberapa tempat di daerah pengambilan sumber daya air oleh perusahaan air minum melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Bahkan, disinyalir pengelolaan sumber daya air tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar.

“Berbagai praktik pemberian perizinan pemerintah cenderung berorientasi pada pendapatan. Terlebih pada era otonomi daerah, pemerintah daerah lebih mengejar pendapatan asli daerah (PAD). Sementara pengendalian dan pengawasan pasca pemberian perizinan bersifat lemah, bahkan terabaikan,” kata Prof Absori di hadapan majelis pleno MK yang diketuai Hamdan Zoelva di ruang sidang MK, Rabu (18/12).

Menurut dia, kondisi semacam ini kerap dimanfaatkan perusahaan air minum yang hanya berorientasi keuntungan untuk mengeksploitasi sumber daya air tanpa menghiraukan dampaknya terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumber daya air yang ada.

Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Pasal 33 ayat (2)  menyebutkan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara” Pasal 33 ayat (3) menyebutkan “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam tingkat tertinggi dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sudah terbukti
Sementara Prof Suteki mengatakan agenda privatisasi air di Indonesia sudah terbukti lewat PP No. 16 Tahun 2005 tentang Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM), Perpres No. 77 Tahun 2007 (yang diperbaharui dengan Perpres No 111 Tahun 2007 dan Perpres No 36 Tahun 2010). Aturan itu memungkinkan swasta menguasai seratus persen modal penguasaan air minum, dan asing dapat menguasai modalnya sebesar 95 persen. 

UU SDA ini pernah diuji pada tahun 2005. Pada waktu itu pemerintah berhasil meyakinkan MK bahwa UU SDA tak bermaksud mengagendakan privatisasi dan komersialisasi air. MK berpendapat kekhawatiran pemohon tidak terbukti, meski saat itu ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) atas putusan itu. “Saat ini, kekhawatiran pemohon adanya agenda privatisasi air yang terselubung dalam UU SDA itu.”   

Suteki berpendapat PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum telah membuka peluang penyelenggaraan air minum oleh swasta tanpa batasan. Padahal, putusan MK terhadap pengujian UU SDA itu menyebut negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas air.

MK juga berpendapat tanggung jawab penyediaan air minum diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMD atau BUMN bukan oleh swasta. Peran koperasi, badan usaha swata dan masyarakat hanyalah bersifat terbatas sampai pemerintah bisa mengelola sendiri.”Dengan demikian dapat diduga PP Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) telah bertentangan dengan putusan MK. Selain itu, PP itu tidak membatasi kepemilikan modal swasta apalagi swasta asing,” bebernya.

Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh diantaranya Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan masyarakat sebagai pengguna air.

Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam UU SDA dan putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar hak guna air.

Namun, penafsiran MK itu telah diselewengkan secara normatif yang berdampak teknis pelaksanaannya. Buktinya, dapat dilihat Pasal 1 angka 9 PP No. 16 Tahun 2005  tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat.

Padahal, Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah. Ini artinya, PP No. 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional MK. Kondisi ini telah melahirkan mindset (pola pikir) pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang sahamnya. Hal ini jelas pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan.
Tags:

Berita Terkait