Ruang Publik Bagi Koruptor
Tajuk

Ruang Publik Bagi Koruptor

Hukuman sosial rupanya tidak berlaku di Indonesia untuk para pencuri uang rakyat.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Ruang Publik Bagi Koruptor
Hukumonline
Hasil reformasi 1998 jelas membuahkan sejumlah hasil. Sebagian sangat mendasar, dan mengubah arah kedepan bangsa ini. Seperti perubahan konstitusi, pemberlakuan kebijakan anti korupsi, pro transparansi dan perlindungan hak-hak sipil, pembentukan lembaga mahkamah konstitusi, badan anti korupsi, dan sejumlah lembaga yang menjamin agar checks and balances terjadi.

Berikutnya adalah penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara bebas yang menjamin hak rakyat memilih secara langsung. Dan yang tidak kalah pentingnya perlindungan atas kebebasan pers, termasuk media sosial yang sangat berperan membentuk opini publik dan mengawasi pembentukan dan implementasi kebijakan publik.

Sejumlah pihak yang sebenarnya menghargai perubahan, tetapi takut akan terjadinya benturan sosial maupun politik, selalu merasa bahwa sebaiknya kita tenang-tenang saja diam di “comfort zone”, di masyarakat yang bebas konflik. Suara demikian juga muncul dari banyak “tokoh lama”, yang dulu merupakan bagian lekat dari orde baru, tetapi di masa reformasi muncul kembali dengan baju reformis.

Mereka semua komplain bahwa reformasi kita kebablasan, dan menganggap bahwa kita tidak perlu harus sejauh ini. Tentu mereka tidak membayangkan bahwa untuk mengubah diri secara revolusioner, seperti yang ditunjukkan oleh banyak bangsa lain di dunia, akan lebih banyak lagi “korban” akan jatuh, baik benda, nyawa dan bahkan peradaban.

Jadi tuan-tuan, kalau reformasi berjalan lambat, menjengkelkan dan tidak selalu efektif, itulah keputusan bersama bangsa ini untuk menempuh jalan setengah revolusi. Revolusi rupanya bukan gaya kita. Jadi cobalah bertahan dan melakukan yang terbaik dengan reformasi yang alon-alon, dan mudah-mudahan kelakon, karena sistem perlu usaha keras dan waktu yang cukup untuk mengubah, mengenal dan melaksanakannya.

Lembaga perlu usaha keras dan waktu yang cukup untuk dirombak besar-besaran. Budaya kerja baru juga perlu usaha keras dan waktu yang cukup untuk diperkenalkan dan diterapkan. Demikian juga, orang-orang yang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan harus dipersiapkan, dididik dan ditempatkan di jabatan, lembaga dan sasaran yang tepat.

Yang sulit diterima, adalah beberapa hal yang bukan saja memperlambat perubahan, tetapi juga merusak apa yang sudah kita bangun selama hampir dua windu terakhir. Pertama, tentu masalah kepemimpinan yang tidak memimpin. Ini terlihat jelas dalam sikap berbagai puncak pimpinan sejumlah lembaga negara, mulai dari eksekatif, legislatif, yudikatif, maupun lembaga-lembaga bentukan baru setelah reformasi.

Roda lembaga-lembaga negara berjalan sekadarnya karena sejumlah pimpinan bukan puncak secara teknis masih mau dan mampu menjalankannya. Tetapi manakala terjadi hambatan yang sifatnya politis, kembali roda berhenti karena pemimpin puncak ingin tetap berada dalam posisi dan kepentingan yang aman dan tanpa risiko kehilangan jabatan atau menurunnya citra.

Masalah kedua, tentu saja korupsi yang masih meraja-lela dimana-mana, dan tidak bisa dicegah melalui mekanisme kelembagaan maupun sistem pencegahan yang tersedia. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kalau KPK tidak efektif bekerja, mungkin negara ini sudah membusuk digerogoti korupsi yang merata di segala tingkatan dan semua sektor.

Ketiga, adalah komitmen nasional untuk berubah yang tidak merata di semua lini. Parlemen masih korup dan berlebihan dalam menjalankan hak dan wewenangnya. Eksekutif dan yudikatif secara sempit mengartikan reformasi birokrasi sebagai cara meningkatkan kesejahteraan di sektor mereka, tanpa sadar bahwa peningkatan kesejahteraan sebenarnya merupakan imbalan atas keberhasilan mengubah lembaga, sistem dan orang-orang di birokrasi mereka.

Singkat kata, kalau tidak ada perubahan berarti maka seharusnya tidak boleh ada peningkatan kesejahteraan. Karena disalah-artikan, akibat yang harus ditanggung negara sangat dalam, luas dan tentu mahal. Biaya negara melonjak tajam, sementara birokrasi makin gendut dan korup, dan kinerja lembaga-lembaga masih rendah. Tuduhan bahwa parlemen, dan birokrasi di eksekutif dan yudikatif masih korup bisa dengan sederhana dibuktikan dengan banyaknya jumlah mereka secara prosentase yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan dihukum oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.  

Keempat, walaupun bukan yang terakhir, adalah masalah diberikannya panggung kepada mereka yang sangat tidak pantas didengar oleh publik. Kalau mantan terpidana kasus korupsi masih diberi ruang dan waktu di tempat-tempat terhormat di parpol atau organisasi kemasyarakatan, maka sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di masyarakat kita.

Hukuman sosial rupanya tidak berlaku di Indonesia untuk para pencuri uang rakyat. Kalau para terpidana, dan tersangka kasus korupsi yang masih disidik, diberi tempat untuk bicara di media untuk menyampaikan versi korupsi mereka, maka sesuatu yang melenceng juga terjadi di media kita.

Setiap hari saya melintas di samping gedung KPK, dan selalu terlihat mobil-mobil pemancar stasiun tv diparkir atau sedang melakukan siaran langsung di sana tentang apa yang terjadi di KPK. Bukan saja konferensi pers yang disiarkan KPK yang mereka liput dan siarkan secara nasional, tetapi juga informasi menyesatkan para terpidana dan tersangka yang baru saja menjalankan pemeriksaan.

Untuk lebih menambah kericuhan, kasus-kasus yang sedang disidik KPK juga gaduh didiskusikan di acara-acara diskusi kelompok profesi di sejumlah “pertunjukkan” di televisi swasta,  Benar masyarakat berhak mendapatkan akses informasi dari media. Benar juga bahwa tersangka berhak atas pembelaan hukum. Benar bahwa para terpidana berhak atas hak perdata mereka. Tetapi karena ini menjadi ajang pembelaan bagi para koruptor, maka mereka tentu saja tidak perlu menyaring kebenaran informasi yang mereka berikan lewat media massa.

Rakyat yang tidak paham, sebagian akan menganggap itu suatu kebenaran. Satu contoh, kalau seorang terpidana suatu kasus korupsi di dunia perbankan diizinkan memutar-balikkan fakta yang kemudian disiarkan secara nasional oleh banyak tv swasta di halaman gedung KPK, maka informasi menyesatkan itu bisa memecah persepsi masyarakat tentang mana kebenaran yang sesungguhnya, mendiskreditkan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan oleh KPK, dan sedikit banyak dapat menyulitkan penyidikan dan penuntutan oleh KPK nantinya.

Mengharapkan pemimpin yang handal, tegas dan bijak bukan soal mudah dan butuh waktu. Peta politik menjelang Pemilu 2014 sangat jelas menggambarkan hal tersebut. Demikian juga soalnya dalam usaha mencegah dan memberantas korupsi, serta menyelaraskan komitmen bersama menuntaskan reformasi. Yang gampang dan cepat dapat dilakukan pada saat ini adalah tidak membiarkan panggung dikuasai oleh mereka yang jelas-jelas bagian dari kekuasaan yang hendak menghambat reformasi, mereka yang korup dan mereka yang punya niat buruk untuk merusak dan menggerogoti negara untuk kepentingan pribadi atau golongannya.

Mulai saja dengan KPK tidak mengizinkan gedung KPK dijadikan panggung untuk para terpidana dan tersangka untuk melancarkan serangan baliknya kepada KPK. Mulai saja media masa menghentikan liputan-liputan yang memberi tempat bagi koruptor dan perusak kepentingan negara. Mulai saja rakyat pemilih menegaskan langsung atau melalui media masa atau media sosial, untuk tidak akan memilih para politisi yang dengan curang menyalah-gunakan fungsi dan wewenang DPR dan dengan bebas (berlindung dibalik kekebalan parlemen) melakukan ancaman, fitnah, dan penyesatan informasi kepada siapa saja yang mereka ingin jadikan sasaran, termasuk dengan cara intervensi ke dalam proses hukum yang sedang berjalan.

Kalau saja usaha-usaha mudah dan cepat ini dapat dilakukan, kita bisa diyakinkan kembali bahwa harapan atas perubahan masih ada, dan Pemilu 2014 masih bisa dijadikan cara terbaik untuk memilih pemimpin baru dan program perubahan baru yang lebih efektif dan bisa dilaksanakan dalam lima tahun ke depan.

ats - hirafu, desember 2013.
Tags: