Mahkamah Konstitusi Terancam Kolaps
Utama

Mahkamah Konstitusi Terancam Kolaps

Pemerintah dalam posisi dilematis, seperti makan buah simalakama, dalam kasus hakim konstitusi.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Keputusan Presiden tentang pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati berpotensi membuat Mahkamah Konstitusi (MK) kolaps.

Jika putusan itu berkekuatan hukum tetap, jumlah hakim konstitusi tinggal enam dari seharusnya sembilan orang. Satu orang hakim lain, Akil Mochtar, ditangkap KPK sebelumnya karena dugaan kasus suap. Perundang-undangan menyebutkan putusan MK baru bisa diambil jika diambil minimal tujuh hakim konstitusi.

Pada Senin (23/12) lalu majelis hakim PTUN Jakarta beranggotakan Teguh Satya Bhakti, Tri Cahyadi dan Elizabeth Tobing, mengabulkan gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari YLBHI, ICW, dan Indonesian Legal Roundtable (ILR). Majelis membatalkan Keppres No. 87/P tanggal 22 Juli 2013 yang menetapkan pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi.

Presiden memang sudah menyatakan banding; demikian pula Patrialis Akbar sebagai penggugat intervensi. Namun langkah hukum ini dinilai dilematis. Di satu sisi, upaya banding memperlihatkan inkonsistensi sikap pemerintah karena tak sejalan dengan Perppu No. 1 Tahun 2013 yang diterbitkan Pemerintah sendiri. Di sisi lain, jika tak banding, ancaman kolaps MK ada di depan mata.

“Seperti makan buah simalakama,” kata mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan dalam diskusi yang digelar DPN Kosgoro dan Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) di Jakarta, Jum’at (27/12).

Pernyataan senada disampaikan Prof. Saldi Isra. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang ini berpendapat langkah banding Presiden dan Patrialis Akbar adalah upaya formal yang dibenarkan hukum, meskipun pilihan itu dilematis. Dilematis karena berarti kontradiktif dengan alasan terbitnya Perppu penyelamatan MK. “Ini pilihan dilematis,” ujarnya.

Kasus Akil dan Patrialis tak bisa dijadikan dasar untuk membubarkan MK. Maruarar Siahaan secara tegas menegaskan MK harus tetap dipertahankan. Senada, Prof. Saldi Isra berpendapat demi menyelamatkan MK, Presiden sudah selayaknya banding.

Dalam proses banding itu, pemerintah harus mempercepat proses seleksi dan kedua hakim MK yang Keppres pengangkatan mereka dibatalkan PTUN mundur bersyarat. Syaratnya, mundur efektif setelah hakim konstitusi baru terpilih. Langkah serupa pernah dilakukan hakim konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie. “Itu langkah paling soft,” kata Saldi.

Prof. Saldi justru lebih mengkhawatirkan implikasi kasus ini pada pasca pemilu 2014 mendatang. Ada kemungkinan para pihak akan terus mengupayakan langkah hukum hingga ke Mahkamah Agung (MA). Jika pada akhirnya MA menjatuhkan putusan yang sama dengan PTUN dan pemerintah tidak segera mengisi kekosongan hakim konstitusi, MK akan benar-benar kolaps. Bisa dibayangkan saat sengketa pemilu 2014 banyak didaftarkan ke MK, pada saat yang sama MK tak bisa mengambil keputusan karena jumlah hakim tak mencukupi.

Menurut Saldi, sangat berbahaya kalau MK invalid pas pada saat sengketa pemilu banyak muncul. “Saat itulah kondisi darurat bisa benar-benar terjadi,” ujarnya. “Ujian sesungguhnya MK adalah pada Pemilu 2014,” timpal pakar hukum tata negara itu.

Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia Muhammad Joni mengingatkan potensi kondisi MK sekarang dimanfaatkan partai politik untuk menyelamatkan kepentingannya pada dan paska Pemilu 2014. “MK harus dijauhkan dari pengaruh sekecil apapun dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, termasuk kepentingan jangka pendek dan kepentingan praktis parpol,” ujarnya.

Transparansi dan partisipasi
Kuasa hukum penggugat Keppres pengangkatan Patrialis, Bahrain, menekankan bahwa upaya yang dilakukan YLBHI, ICW dan ILR, adalah bentuk kritik terhadap langkah Presiden yang mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi.

Undang-Undang tegas menyebutkan proses seleksi calon hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Syarat ini dipenuhi pemerintah pada 2008 dengan membentuk tim seleksi yang diketuai anggota Wantimpres bidang hukum saat ini, Adnan Buyung Nasution. Tetapi dalam proses pencalonan Patrialis langkah serupa tak dilakukan. “Padahal prinsip transparansi dan partisipasi itu eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang,” kata Bahrain.

Dijelaskan Bahrain, sebelum gugatan diajukan ke PTUN, pihaknya sudah menempuh upaya dialog, termasuk melayangkan somasi dan berbicara dengan Patrialis. Tetapi upaya itu tak membuahkan hasil. Presiden tetap melantik Patrialis, mantan Menteri Hukum dan HAM, sebagai hakim konstitusi.

Putusan PTUN menjadi pelajaran penting bagi DPR, MA dan Pemerintah –lembaga pengusul calon hakim MK, agar lebih transparan dan membuka ruang partisipasi publik.
Tags:

Berita Terkait