Arah Politik Hukum Tan Malaka
Resensi

Arah Politik Hukum Tan Malaka

Satu lagi karya tentang Tan Malaka terbit menjelang penghujung 2013. Berniat melihat gagasan-gagasan hukum Tan Malaka. Kesalahan pengetikan dan editing sangat mengganggu..

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: RZK
Foto: RZK
Di sela-sela perhelatan Konsorsium Hukum Progresif di Semarang, akhir November 2013, sebuah buku baru bersampul abu-abu menarik banyak perhatian kalangan akademisi dan praktisi hukum. Buku karya Muhtar Said itu laris manis dibeli selama dua hari perhelatan Konsorsium. Betapa tidak, judulnya mengundang rasa ingin tahu pembaca: ‘Politik Hukum Tan Malaka’.

Tan Malaka adalah sosok kontroversi dalam lintasan sejarah Indonesia. Ia tokoh pergerakan yang dianggap radikal, militan, dan sangat revolusioner. Pejuang kelahiran Pandang Gadang, Suluki, Sumatera Barat ini memilih jalan berbeda dalam perjuangan dibanding Sjahrir, misalnya. Tan Malaka percaya pada kekuatan massa, gagasan-gagasannya juga dipandang bisa membangkitkan propaganda. Sebagian dari perjalanan hidup dan kematiannya menjadi misteri dan mengundang rasa ingin tahu sejumlah kalangan.

Kita bisa mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan tentang Tan Malaka dalam literatur. Sekadar contoh sebutlah karya-karya Harry A Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (1998); Pergulatan Menuju Republik, 1897-1925 (2000), Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (2008). Atau, karya Rudolf Mrazek, Semesta Tan Malaka, karya Herry Prabowo, Perspektif Marxisme Tan Malaka: Teori dan Praksis Menuju Republik (2002). Belum lagi makalah dari akademisi, sejarawan, dan peneliti yang disampaikan pada kegiatan-kegiatan ilmiah. Bahkan di laman Marxis, tulisan-tulisan tentang Tan Malaka disinggung.

Sebagian besar karya tersebut merujuk pada bahan-bahan tulisan Tan Malaka seperti Gerpolek, Madilog, SI Semarang dan Onderwijs, atau Pandangan Hidup.

Karya Muhtar Said ini juga tak lepas dari referensi dimaksud. Sewaktu bertemu dengan Muhtar di Semarang 30 November 2013, ia bercerita tentang kajian yang digelar Sekolah Tan Malaka –sebutan untuk forum diskusi – di Sampangan, Jawa Tengah. Peserta diskusi umumnya adalah kaum Tjipian—pengikut hukum progresif. Muhtar, Ketua Persatuan Mahasiswa Hukum DPC Semarang 2009-2011-- adalah salah seorang Tjipian yang tergerak menelanjangi pemikiran Tan Malaka dalam paradigma hukum. Muhtar menggunakan pendekatan politik hukum.

Pendekatan politik hukum kini sudah berkembang luas di Indonesia. Teuku M. Radhie, Moh Mahfud MD, Satya Arinanto, Ahsin Thohari, Benny K. Harman adalah sederet orang Indonesia yang menggunakan pendekatan ini dalam kajian mereka. Politik hukum pada dasarnya adalah arah kebijakan hukum yang dianut. Bagaimana politik hukum ekonomi, dasar negara, sistem pemasyarakatan, legislasi, pemilihan umum, politik hukum pidana, dan sistem kekuasaan kehakiman. Dalam konteks ini tentu saja kebijakan hukum yang dipahami dan hendak dikembangkan oleh Tan Malaka.
JudulPolitik Hukum Tan Malaka
PenulisMuhtar Said, SH. MH.
PenerbitThafa Media, Yogkarta
Cetakan perdanaNovember 2013
Halaman206 termasuk daftar pustaka

Sayang, tak semua elemen politik hukum tergambar dalam buku Muhtar. Tulisannya justru lebih banyak mengulang biografi dan filsafat materialisme Tan Malaka (lebih dari 90 halaman). Hanya ada dua bab yang spesifik membahas politik hukum, yaitu elemen sistem negara, dan revolusi hukum Tan Malaka. Dalam pemikiran Tan Malaka, negara harus mempunyai kekuasaan penuh yang bisa mengontrol sampai lapisan bawah Kekuasaan itu harus dimiliki agar semua kebijakan bisa mengakar ke bawah dan dapat dilaksanakan (hal. 119).

Revolusi hukum dalam pandangan Tan Malaka tak lepas dari kehidupannya yang dianggap ‘musuh bangsa’ hanya karena ia berbeda pendapat dengan penguasa. Hukum ditentukan sepihak oleh penguasa. Dalam Hukum Revolusi Tan Malaka menulis: “Belum dapat pula dilarang dalam revolusi kita ini: kalau pembesar ini atau itu yang memegang kekuasaan dan uang negara, menuduh, meresmikan nama penjahat ini dan itu sebelumnya kesalahan ‘penjahat’ itu dapat dipastikan oleh hukum revolusi yang sesungguhnya” (hal. 167-168).

Dalam konteks ini kita tak mendapatkan penelanjangan pemikiran Tan Malaka tentang hakim, sarjana hukum, jaksa, sistem peradilan, padahal di kalangan kaum revolusionis berkembang pemikiran bahwa revolusi tak akan berkembang kalau orang hukum dilibatkan. Bung Karno punya sering menyitir kalimat met de juristen kunnen wij geen revolutie maken, dengan orang hukum kita tidak mungkin melakukan revolusi. Lihat misalnya pidato Mr Iwa Kusuma Sumantri di Unpad Bandung, 2 April 1958, berjudul ‘Revolusionisasi Hukum Indonesia’.

Ucapan Bung Karno ini tampaknya perlu dielaborasi lebih jauh oleh penulis untuk perbaikan ke depan. Tetapi yang paling mendesak diperbaiki adalah kesalahan-kesalahan pengetikan dan alfabetis yang cukup banyak ditemukan, dan sangat mengganggu.

Meskipun demikian, usaha Muhtar Said patut diapresiasi. Seperti kata Prof. Suteki, Ketua Konsorsium Hukum Progresif sekaligus guru Muhtar Said, yang dilakukan Muhtar adalah salah satu dari sedikit orang yang berusaha menelanjangi pemikiran Tan Malaka dengan konstelasi paradigma hukum. Bahkan mungkin satu-satunya.

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait