Tarif Kapitasi dan INA-CBGs dalam BPJS
Berita

Tarif Kapitasi dan INA-CBGs dalam BPJS

Pelayanan akan dibenahi. Ada kenaikan tarif.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Tarif Kapitasi dan INA-CBGs dalam BPJS
Hukumonline
Dalam rangka memuluskan penyelenggaraan BPJS Kesehatan, pemerintah telah memperbaiki mekanisme pembayaran klaim terhadap fasilitas kesehatan di tingkat pertama seperti klinik, dokter keluarga, Puskesmas, dan fasilitas kesehatan rujukan seperti Rumah Sakit (RS). Menurut Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, sistem pembayaran BPJS Kesehatan terhadap berbagai fasilitas kesehatan itu melalui dua mekanisme: kapitasi bagi fasilitas kesehatan primer, dan INA-CBGs untuk pelayanan kesehatan tingkat lanjut.

Menurut Fajri, perbaikan mekanisme pembayaran biaya pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah itu, khususnya INA-CBGs, sudah memperhatikan masukan dari berbagai pihak seperti organisasi profesi, penyedia pelayanan kesehatan dan BPJS Kesehatan. “Ada peningkatan di pembayaran kapitasi dan INA-CBGs,” katanya dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Senin (06/1).

Fajri menjelaskan kapitasi diberikan kepada fasilitas kesehatan primer berdasarkan jumlah peserta yang dilayani dalam sebuah wilayah. Kapitasi dibayar BPJS Kesehatan mengacu beberapa hal seperti berapa banyak dokter yang bertugas pada satu fasilitas kesehatan primer. Kemudian bentuknya apakah klinik atau Puskesmas. Untuk klinik, satu orang peserta dalam satu bulan besaran kapitasinya maksimal Rp10 ribu dan Puskesmas Rp6 ribu. Lewat sistem kapitasi, fasilitas kesehatan primer dituntut bukan hanya mengobati peserta BPJS Kesehatan tapi juga memberikan pelayanan promotif dan preventif atau pencegahan.

Dengan kapitasi, Fajri melanjutkan, pemasukan dokter di fasilitas kesehatan primer menjadi lebih jelas. Sebab, jika menggunakan mekanisme pembayaran sebelumnya atau dikenal fee for service, maka pemasukan dokter menunggu pasien yang datang. Sedangkan melalui kapitasi, dalam satu bulan dokter di fasilitas kesehatan primer sudah jelas pemasukannya, tergantung pada jumlah peserta yang menjadi tanggungan di wilayahnya.

Untuk INA-CBGs, pemasukan dokter tergantung pada RS yang bersangkutan. Secara filosofis pembayaran dokter saat ini seharusnya tidak lagi menggunakan mekanisme fee for service, melainkan renumerasi. Maksudnya, gaji bulanan berbasis pada kinerja.

Selain itu dalam perbaikan tarif INA-CBGs, Fajri mengatakan besarannya sudah dinaikan rata-rata 29-53 persen ketimbang tahun lalu untuk berbagai diagnosis penyakit dan bermacam tipe RS. Baginya kenaikan itu dapat membenahi ketimpangan tarif di RS baik itu tipe A,B,C dan D. Sehingga dapat meminimalisir RS tipe C dan D merujuk pasien dengan mudah ke RS tipe A atau B. Fajri menandaskan secara umum RS tipe A dan B fasilitas dan tenaga medisnya lebih lengkap ketimbang C dan D.

Tak ketinggalan Fajri menandaskan pola pembayaran klaim BPJS Kesehatan terhadap pemberi pelayanan kesehatan itu mengacu pada Peraturan Presiden (PP) No.111 Tahun 2013 yang merupakan revisi Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Lewat pola pembayaran itu diharapkan tarif yang digunakan BPJS Kesehatan lebih terstandarisasi dan memberikan kepastian.

Siap Berjalan
Pada kesempatan yang sama usai menyambangi posko 24 jam BPJS Kesehatan, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai persiapan yang selama ini dilakukan pemangku kepentingan, termasuk PT Askes sudah cukup baik. Sehingga BPJS Kesehatan tergolong siap melaksanakan amanat sebagaimana tertuang dalam UU SJSN dan BPJS. Misalnya, di bidang teknologi informasi (IT), Denny melihat sistem yang ada sudah terbangun sehingga BPJS Kesehatan di berbagai wilayah dapat saling terkoneksi. “Kelihatan bahwa BPJS beberapa langkah sudah di depan untuk persiapan itu,” ujarnya.

Terkait peraturan pelaksana BPJS, Denny mengatakan untuk BPJS Kesehatan sudah selesai seluruhnya. Tapi untuk BPJS Ketenagakerjaan, masih ada regulasi operasional yang belum selesai yaitu berkaitan dengan program yang nanti dilaksanakan. Seperti Jaminan Kecelakaan Kerja, Hari Tua dan Kematian. Menurutnya, regulasi itu belum selesai diterbitkan karena batas waktunya masih setahun lagi yaitu Juli 2015.

Terpisah, anggota Komisi IX DPR fraksi PKS, Indra, menekankan agar pemerintah tidak mempolitisir penyelenggaraan BPJS, terutama Kesehatan. Pasalnya, Indra melihat pemerintah SBY mengklaim BPJS seolah sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap jaminan kesehatan rakyat. Padahal, dalam pembahasan RUU BPJS di DPR, pemerintah menginginkan masa transisi pelaksanaan BPJS itu 10-15 tahun. DPR menilai masa transisi itu hanya butuh dua tahun.

Kemudian, Indra berpendapat pemerintah lamban dalam menjalankan amanat UU BPJS misalnya, tak kunjung mengesahkan peraturan pelaksana seperti PP dan Perpres. Sebab, sampai batas waktu yang ditetapkan yaitu 24 November 2012, pemerintah belum satu pun menerbitkan regulasi itu. Bahkan satu tahun setelah lewat batas waktu tersebut, peraturan pelaksana yang dibutuhkan BPJS Kesehatan juga belum dikeluarkan.

“Dalam rapat paripurna DPR saya protes atas kelambanan dan pengabaian amanah UU BPJS oleh pemerintah. Sangat molor dan lalainya pemerintah dalam membuat peraturan pelaksana BPJS Kesehatan berpotensi menghambat proses persiapan pelaksanaan BPJS,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait