Bantuan Hukum di Atas Kertas?
Kolom

Bantuan Hukum di Atas Kertas?

Ada perbedaan kultur birokrasi yang terlalu mengedepankan formalitas dengan gaya kerja OBH yang selama ini dipandang sebagai kelompok masyarakat sipil.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi
Menjelang periode tutup tahun anggaran tahun 2013 yang lalu terdapat berita menggelitik: “Sekitar 30 Miliar Dana Bantuan Hukum Tidak Terserap”. 

Berita ini mengandung arti hanya sekitar 13 miliar rupiah dana bantuan hukum  untuk Tahun Anggaran 2013 yang terserap oleh total 310 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah diakreditasi dan diverifikasi sebelumnya oleh Kementerian Hukum dan HAM cq BPHN.

Bisa dibayangkan, sekitar 70 persen dana yang diperuntukan untuk bantuan hukum masyarakat di Indonesia tidak dapat dinikmati dan mubazir begitu saja. Wakil Presiden Boediono bahkan ikut menyesali tidak maksimalnya penyerapan anggaran ini. Dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk keperluan pemberian bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan.

Tentu bukan hanya Wapres Boediono saja yang menyesalkan kemandulan penyaluran dana bantuan hukum, para pemberi dan pengabdi bantuan hukum yang berada di lapangan juga menyesalkan. Penyerapan anggaran yang tidak maksimal akan berimbas kepada komponen penilaian anggaran yang dikucurkan tahun depan ke Kemenkumham, dalam hal ini BPHN sebagai penyelenggara program bantuan hukum. Ketika daya serap anggaran periode tahun 2013 tidak maksimal, dikhawatirkan anggaran untuk dana bantuan hukum 2014 akan berkurang. Apalagi melihat realitas 2014 adalah tahun politik dimana keuangan Negara akan lebih banyak terpusat untuk urusan pemilihan umum.

Tanggung jawab negara
Tanggung jawab negara untuk menjamin pemberian bantuan hukum di Indonesia merupakan buah perjalanan yang cukup panjang. Berbagai seminar dan pendekatan dilakukan untuk menyadarkan pemerintah atas pentingnya bantuan hukum sebagai salah satu akses terhadap keadilan bagi orang yang tidak mampu. Hasilnya, pada tahun 2011 lahir Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum).

Roh yang hendak ditanamkan ialah bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin adanya bantuan hukum bagi masyarakat miskin sebagai wujud perlindungan HAM dan akses terhadap keadilan. Oleh karena itu proses bantuan hukum yang telah berjalan selama ini tanpa campur tangan pemerintah coba dibuat standar menurut ukuran pemerintah dengan cara melakukan verifikasi dan akreditasi atas lembaga dan organisasi bantuan hukum. Dengan lahirnya UU Bantuan Hukum, dana bantuan hukum  menjadi sistem satu pintu yakni melalui pintu Kemenkumham cq BPHN.

Posisi ideal yang hendak dituju ialah agar dana bantuan hukum yang tersebar di berbagai instansi atau pos dapat disatukan melalui satu pintu, layaknya mesin pencari komputer, ketika mengetik key word “dana bantuan hukum” maka otomatis akan diarahkan melalui pintu BPHN. Proses ini pun kemudian melahirkan 310 organisasi bantuan hukum yang lolos verifikasi dan akreditasi, dan dana bantuan hukum sebesar 43 miliar rupiah dalam APBN 2013.

Sebagai produk pelengkap dari UU Bankum ini, Pemerintah menerbitkan produk turunan. Antara lain Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP 42/2013), Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan (Permen 22/2013), Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Permen 42/2013), Keputusan Menteri No. M. HH-03.03 tahun 2013 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi (Kepmen Bankum), serta Petunjuk Pelaksanaan tentang Penyaluran Dana dan Pelaporan Pelaksanaan Bantuan Hukum (Juknis Bankum) yang dikeluarkan oleh BPHN itu sendiri.

Banyaknya peraturan pelaksana yang dikeluarkan ini ternyata sejalan dengan rumitnya teknis pelaksanaan dan penyaluran dana. Pekerja dan pengabdi bantuan hukum yang menjalankan pengabdiannya di lapangan masih kesulitan memenuhi persyaratan yang dibuat pemerintah.

Misalnya, Pasal 43 Permen 42/2013 mensyaratkan adanya dokumen-dokumen pendukung sebagai bukti untuk dapat melakukan reimburse penyaluran dana kegiatan litigasi pendampingan bantuan hukum. Permen 42/2013 ini tidak mewajibkan dokumen-dokumen dan berkas yang dilampirkan harus berbentuk asli. Namun lebih lanjut lagi dalam Petunjuk Teknis BPHN disyaratkan bahwa dokumen yang dimaksud haruslah dokumen yang asli.

Cobalah dibayangkan terlebih dahulu, para pihak yang terlibat dalam proses beracara di pengadilan pun tahu jika dokumen asli sebuah perkara seperti Jawaban, Pledoi, Replik, Duplik dan lainnya ialah merupakan milik dari Hakim yang mengadili perkara. Para pihak yang berperkara hanya mendapatkan salinan. Parahnya lagi, regulasi teknis tersebut seakan luput dari depan mata para pembuat regulasi sehingga mereka mewajibkan para pihak menyediakan dokumen asli.

Kemenkumham cq BPHN dalam hal ini boleh berkilah bahwa dalam mekanisme pencairan anggaran, Kementerian keuangan sebagai “kasir” negara mengharuskan adanya dokumen asli sebagai bukti penanganan perkara. Konsekuensinya, diperkirakan mayoritas organisasi bantuan hukum yang telah melaksanakan program bantuan hukum tidak dapat mengakses dana bantuan hukum secara maksimal akibat birokrasi dan persyaratan tersebut.

Beberapa organisasi bantuan hukum misalnya telah melaksanakan kegiatan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin dalam bentuk pendampingan perkara dan penyuluhan hukum. Namun karena mekanisme pelaporan perkara dan kegiatan yang sangat berbelit-belit dan mewajibkan formulir-formulir baru yang asing sebagai bentuk pelaporan kegiatan, maka kegiatan dan pendampingan yang telah dilaksanakan oleh OBH tidak dianggap sebagai sebuah proses pemberian bantuan hukum yang sesuai dengan standar dan otomatis tidak berhak mendapatkan dana bantuan hukum. Sayang sekali jika ternyata hasil kerja OBH tersebut tidak dianggap hanya karena masalah birokrasi administratif semata.

Ketika diadakan rapat pertemuan dengan pihak BPHN, terdapat juga masukan mengenai porsi dana yang tidak seimbang dalam kegiatan litigasi dan non litigasi. Untuk perkara yang bisa diselesaikan dengan jalan perdamaian misalnya, digolongkan sebagai proses nonlitigasi yang diberikan kisaran dana lebih kecil daripada litigasi. Bisa jadi jika ada organisasi bantuan hukum yang bertujuan untuk “meraup” dana negara secara maksimal maka pastinya bukan jalur kekeluargaan melalui penyelesaian di luar pengadilan yang dipilih melainkan jalur penyelesaian lewat pengadilan yang dihargai lebih besar ‘jumlah nominalnya’ daripada jalur non litigasi.

Menyamakan persepsi
Jika ternyata pola pikir pemerintah tentang bantuan hukum hanya fokus pada aspek formalitas birokrasi,  sedangkan roh  dan semangat bantuan hukum adalah perwujudan akses keadilan bagi masyarakat miskin, maka bisa disebut pemerintah gagal.  Kebijakan penganggaran bantuan hukum seolah menjadi ironi. Ada dana miliaran rupiah, ada jutaan warga miskin, tetapi dana itu tak terpakai maksimal. Ini berarti ada kesalahan memotret dan mengidentifikasi kebutuhan bantuan hukum di lapangan.

Persoalannya terletak pada lemah dan minimnya koordinasi para pemangku kepentingan. Selain itu, ada perbedaan kultur birokrasi yang terlalu mengedepankan formalitas dengan gaya kerja OBH yang selama ini dipandang sebagai kelompok masyarakat sipil. Para pengabdi dan pengadvokasi masyarakat miskin lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ketimbang formalitas semata. Akibatnya, pemberian bantuan hukum menjadi cenderung ruwet dan terkesan birokratis. Artinya, regulasi yang dibuat untuk mengatur standar dan teknis bantuan hukum sebenarnya masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan itu harus segera dicarikan solusinya, bisa melalui direvisi.

Persoalan ini seharusnya diperhatikan secara serius oleh pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM/BPHN) karena dana yang digunakan dalam pemberian bankum ini adalah uang negara. Salah pengelolaan karena administrasi yang berbelit-belit dapat menimbulkan potensi kriminalisasi bagi pemberi bantuan hukum. Jangan sampai kelak dana yang digunakan untuk keperluan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin berbalik “menerkam” para pemberi bantuan hukum.

Intinya ialah proses bantuan hukum harus dapat dilaksanakan secara sederhana dan tidak berbelit-belit, persamaan persepsi antar Kementerian dalam hal ini Kementerian keuangan keuangan, kemenkumham dengan para pemangku kepentingan pun harus disamakan, jangan ada persepsi yang berbeda-beda yang mengakibatkan simalakama bagi masing-masing pihak, BPHN dianggap mandul karena tidak maksimal menyerap anggaran sehingga anggarannya dipotong oleh Kementerian keuangan, pemberi bantuan hukum tidak dapat mengakses dana karena rumitnya birokrasi.

Imbasnya pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang membutuhkan pun menjadi terhambat, layaknya ungkapan hukum “Justice delayed is Justice denied”, terlalu banyak membuat peraturan dan regulasi yang berbelit-belit tanpa bisa diaplikasikan hanya akan membuat bantuan hukum di Indonesia layaknya bantuan hukum di atas kertas, kosong dan kehilangan makna.   

*Penulis adalah Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron Jakarta
Tags:

Berita Terkait