Penegakan Hukum Terhadap Sikap Intoleransi Tak Jalan
Berita

Penegakan Hukum Terhadap Sikap Intoleransi Tak Jalan

Setara Institute mencatat terjadi 222 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2013.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Penegakan Hukum Terhadap Sikap Intoleransi Tak Jalan
Hukumonline
Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin konstitusi. Namun pelanggaran terhadap hak asasi itu masih terus terjadi. Selama tahun 2013, berdasarkan hasil pemantauan Setara Institute terdapat 222 peristiwa
dan 292 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia.

Menurut Wakil Direktur Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, data itu dihimpun dari pemantauan yang dilakukan di 10 provinsi. Pelanggaran tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat dengan 80 peristiwa, Jawa Timur 29, Jakarta 20, Jawa Tengah 19, Sumatera Utara 15 dan Sulawesi Selatan 12. Di tingkat Kabupaten/Kota, pelanggaran tertinggi terjadi di kota Bekasi dengan 16 peristiwa, Kabupaten Tasikmalaya 13, Bandung dan Tangerang masing-masing 11 kasus.

Menurut Bonar, dari 292 bentuk pelanggaran 175 tindakan dilakukan aktor non-negara yang diantaranya berbentuk sikap intoleransi, tuduhan sesat dan ancaman kekerasan. Dari jumlah itu 65 tindakan dilakukan oleh kelompok intoleran dengan cara mengatasnamakan warga setempat menolak keberadaan penganut agama atau keyakinan tertentu yang tinggal di wilayah tersebut.

Namun dari pantauan Setara, kelompok intoleran yang beraksi itu dapat diidentifikasi. Tapi, ketika bertindak mereka kerap menanggalkan atribut organisasian dan seolah menjadi warga setempat. “Biar terkesan kelompok intoleran bukan itu-itu saja, biar kelihatan banyak,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (16/1).

Pelanggaran yang dilakukan penyelenggara negara terdapat 117 tindakan. Menurut Bonar tindakan itu diantaranya diskriminasi, pembiaran dan penyegelan tempat ibadah. Institusi pemerintahan yang paling banyak melakukan pelanggaran itu Kepolisian 35 tindakan, Satpol PP 18, Pemerintah Kabupaten 14 dan TNI 10, sedangkan Kementerian Agama, bupati dan camat masing-masing 6 tindakan. “Itu menunjukan negara berperan langsung dalam melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ucapnya.

Berbagai pelanggaran itu menurut Bonar menimpa kelompok minoritas. Paling banyak menimpa jemaah Ahmadiyah yaitu 59 peristiwa, umat Kristiani 48, aliran keagamaan 28 dan komunitas Syiah 23. Tindakan para pelaku biasanya menyasar tempat ibadah. Modusnya, kelompok intoleran menghentikan kegiatan keagamaan dan berkeyakinan yang dilakukan dengan dalih tidak ada izin atau dituduh menyimpang.

Bonar melihat ada dua tren yang menonjol yaitu peristiwa berlangsung di daerah yang tahun-tahun sebelumnya belum pernah terjadi pelanggaran seperti Jambi. Pelanggaran yang menimpa komunitas Syiah meningkat ketimbang tahun 2012. Baginya, pemicu tren itu salah satunya karena lemahnya pemerintah dalam mencegah terjadinya tindakan intoleransi. Akibatnya, pelanggaran di suatu wilayah dengan mudah ditiru oleh kelompok intoleran di daerah lain. “Intoleransi itu seperti virus yang menyebar dan ditiru kelompok lain,” urainya.

Walau begitu bukan berarti daerah di luar 10 provinsi yang dipantau Setara Institute tidak terjadi pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bonar menjelaskan di Bali ada beberapa peristiwa. Misalnya, ada tiga masjid yang tidak dapat digunakan kaum muslim. Komnas HAM sudah menangani masalah ini dan melayangkan surat kepada Gubernur tapi belum ditindaklanjuti. Kemudian pelarangan menggunakan jilbab di sebuah SMK.

Bonar menjelaskan dalam menangani masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan pemerintah hanya melakukan hal yang sifatnya “kosmetik” sehingga tidak menuntaskan akar persoalan. Misalnya, dalam menuntaskan sebuah persoalan, Kementerian Agama biasanya mengadakan pertemuan atau dialog yang tidak berdampak positif pada kondisi yang sesungguhnya. Kemudian, aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan tegas terhadap pelaku kriminal. Misalnya, sebuah pertemuan yang sudah mengantongi izin, kemudian kelompok intoleran memaksa agar pertemuan itu dibubarkan.

Walau sudah punya izin dalam menyelenggarakan kegiatan, Bonar melihat aparat kepolisian cenderung mengarahkan agar kelompok minoritas yang melakukan kegiatan itu membubarkan diri. Sehingga dapat dilindungi dari tindakan kelompok intoleran. Menurut Bonar langkah itu keliru karena membenarkan tindakan pembubaran yang diharapkan kelompok intoleran. “Jadinya kelompok intoleran merasa di atas hukum. Itu lingkaran setan yang terus terjadi selama ini,” tuturnya.

Selain itu Bonar berpendapat pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan biasanya terjadi di masa menjelang Pemilu baik di daerah atau pusat. Sehingga kelompok intoleran akan bermanuver di daerah yang ia kuasai. Misalnya, di Jawa Barat, Provinsi yang paling tinggi terjadi peristiwa pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan itu punya populasi terpadat di pulau Jawa. Serta penyumbang kursi terbesar di DPR. Oleh karenanya, Bonar mensinyalir ada aktor yang memanfaatkan kelompok intoleran itu untuk kepentingan politik.

Pada kesempatan yang sama peneliti Setara Institute, Halili Hasan, mengingatkan pemerintah agar serius menangani persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pasalnya, jika tidak ditangani dengan tepat bakal berpotensi muncul konflik horizontal. Sebab, salah satu pelaku adalah aktor non negara atau kelompok intoleran.

Halili menyayangkan sikap pemerintah yang membiarkan sosialisasi intoleransi dalam bentuk baliho, spanduk dan pamflet. Menurutnya hal itu mengakibatkan terjadinya tindakan intoleransi. Oleh karenanya Halili mengimbau pemerintah untuk menegakan hak-hak universal warga negara yaitu bebas beragama dan berkeyakinan sebagaimana amanat konstitusi. Dengan begitu diharapkan antar umat dapat hidup berdampingan.

Upaya itu menurut Halili harus dibarengi dengan meninjau kembali berbagai peraturan yang menyuburkan tindakan intoleransi. Seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. SKB Pembatasan Ahmadiyah, UU No. 1/PNPS/1965 dan berbagai Peraturan Daerah yang diskriminatif. “Masih ada peraturan intoleran yang dipelihara pemerintah,” tukasnya.

Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Romo Benny Susetyo, mengatakan selama tujuh tahun terakhir di masa Pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY, tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Misalnya, sampai saat ini umat Katolik kesulitan membangun tiga gereja baru. Menurutnya hal itu terjadi karena lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintahan dan tidak mematuhi aturan yang ada. Padahal, jika memahami amanat konstitusi, aparat pemerintah yang bertugas dapat menyelesaikan persoalan itu.

Sayangnya, hal itu tidak terjadi sehingga perintah konstitusi yang mengamanatkan pemerintah untuk menjamin terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak berjalan maksimal. Bahkan Romo Benny melihat pemerintah cenderung lemah menggunakan kewenangannya untuk melindungi umat beragama dari tindakan kelompok intoleransi. Apalagi pemerintah saat ini dirasa terjebak pada dikotomi mayoritas dan minoritas. Padahal, semua warga negara punya hak yang sama tanpa membedakan asal kelompknya apakah dari mayoritas atau minoritas. “Jadi yang penting itu pemimpin harus taat pada konstitusi,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait