Imam Nasima:
Semangat Mereformasi Peradilan Indonesia dari Belanda
Profil

Imam Nasima:
Semangat Mereformasi Peradilan Indonesia dari Belanda

Sekolah dan menetap di Belanda, tetapi tetap cinta hukum Indonesia.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: ALI
Foto: ALI
Belanda menjadi salah satu tujuan favorit studi banding para hakim Indonesia. Di Negeri Tulip itu, hakim Indonesia umumnya bertemu dengan hakim-hakim setempat untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman praktik. Dan dalam kegiatan seperti ini biasanya dibutuhkan kehadiran seorang fasilitator.

Kualifikasi fasilitator standarnya adalah penerjemah bahasa. Namun, fasilitator yang satu ini tidak sekadar penerjemah, tetapi juga periset, khususnya yang berkaitan dengan reformasi peradilan. Namanya, Imam Nasima, seorang warga negara Indonesia yang telah cukup lama bermukim di Belanda, tepatnya di kota Den Haag.

“Masih terlibat dengan proses reformasi (peradilan,-red) di Indonesia. Contohnya, kalau ada kunjungan kerja peradilan dari Indonesia ke  sini, gue ikut terlibat,” ujar Imam kepada hukumonline bercerita seputar kegiatannya saat ini, di sebuah café di Den Haag, November lalu.

Imam memang memenuhi semua kualifikasi bila berbicara seputar reformasi peradilan di Indonesia yang sedang ‘belajar’ dari Hoge Raad (MA) Belanda. Pengetahuannya –baik hukum Indonesia dan Belanda- sangat mendalam. Dia fasih berbahasa Belanda sehingga dengan mudah dapat meneliti dokumen-dokumen di negeri kincir angin ini.

Maklum saja, bila sebagian sarjana hukum Indonesia baru menuntut ilmu di Belanda untuk level master atau setelah menyelesaikan strata-1 di Indonesia, dirinya berbeda. Imam sudah memilih belajar hukum di Belanda sejak di level strata-1.

Gue mulai belajar hukum di Utrect (University,-red) tahun 2000. Itu mulai kuliah. Dari S1, sampe selesai S2 pada 2007,” ceritanya.

Imam menuturkan alasannya memulai belajar hukum sejak awal di Belanda karena ada anggapan bahwa sejarah hukum Indonesia tak lepas dari Belanda. “Kebetulan karena orangtua punya latar belakang hukum, jadi gambaran itu yang didapatkan,” ungkapnya.

Walau akhirnya, lanjut Imam, bila dilihat lagi ke belakang, sekarang ini ketika dia tetap tinggal di Belanda pun orientasi yang menjadi objek studinya adalah hukum Indonesia. “Meski latar belakang pendidikan gue, belajar hukum di Belanda. Sekarang tinggal di Belanda. Yang, jadi concern gue tetap hukum Indonesia,” tuturnya.

Dengan latar belakang S1 di bidang hukum perdata, dan S2 di bidang hukum perusahaan, tentu Imam punya masa depan yang ‘cerah’ untuk berkarier di Belanda, ataupun di sekitar Eropa. Namun, dirinya tetap berpikir bagaimana berbuat sesuatu yang positif untuk hukum dan peradilan di tanah air.

Di masa akhir perkuliahannya di Utrecht University, Imam sempat magang selama tiga bulan di Van Vollenhoven Institute di Leiden. Institusi ini memang fokus mempelajari tentang hukum yang berkembang di Indonesia (Hindia Belanda). Nama institusi ini memang diambil dari seorang pakar hukum Belanda yang meneliti hukum adat di Indonesia pada era pra kemerdekaan.

Gue di sana nulis tentang Mahkamah Konstitusi, terkait asas non diskriminasi. Setelah itu nulis skripsi, lalu pulang ke Indonesia,” tuturnya.

Di tanah air, Imam bergabung dengan Pusat Sudi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia sebagai peneliti. “Gue melihat yang jadi fokus studi dan ketertarikan gue itu sebenarnya hukum Indonesia,” tuturnya menceritakan alasannya kembali ke Indonesia. Ia menemukan passion-nya di PSHK karena LSM ini fokus kepada isu-isu reformasi hukum dan peradilan.

Imam terlibat dalam beberapa proyek. Di proyek pertamanya, ia sudah langsung terjun untuk memulai aktivitas pembaharuan peradilan. “Pertama kali bekerja membantu melakukan pemetaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2007,” ujarnya.

Hingga, akhirnya, Imam benar-benar nyemplung lebih dalam ke reformasi peradilan dengan bergabung sebagai anggota Tim Pembaharuan Peradilan di MA.

Ada banyak hasil yang telah dicapai dalam pembaharuan peradilan di Indonesia. Mulai dari Cetak Biru MA, upload putusan pengadilan secara berkala ke website MA, hingga yang terbaru, penerapan sistem kamar di lingkungan MA. 

Meski sudah banyak hasil yang dicapai (seperti upload putusan peradilan secara online), Imam berpendapat secara jujur bahwa hasil reformasi peradilan belum terlalu memuaskan. Ia mengakui memang masih ada ketidakpuasan, tetapi harus disadari bahwa peradilan tak bisa bergerak sendiri untuk mereformasi dirinya.

Ia memberi contoh dengan publikasi putusan yang sudah dilakukan. Namun, belum banyak praktisi hukum –apalagi masyarakat- yang memanfaatkan tersedianya putusan pengadilan ini di website sebagai bahan kajian. Padahal, di banyak negara, para praktisi atau akademisi yang membuat putusan-putusan yang sudah dipublikasikan ini sampai ke masyarakat.

“Di banyak negara, seperti di Belanda, universitas-universitas yang membuat putusan-putusan itu keluar dan memasyarakatkan (lewat proses kajian atau eksaminasi,-red) sehingga masyarakat memahami itu sebagai kesadaran karena aturannya seperti itu. Ada proses diskusi sosial yang berjalan secara berkelanjutan,” ujarnya.

“Di titik ini tentu belum memuaskan. Tapi, itu memang bukan kerjaan pengadilan saja,” tambahnya.

Penerjemah Putusan
Di Belanda, pria yang sudah menikah dengan wanita Belanda ini memiliki banyak kegiatan. Selain memiliki jasa penerjemahan sendiri, Imam terlibat dalam dua proyek yang tak jauh-jauh berhubungan dengan hukum, sesuai dengan jiwanya. Pertama, kerjasamanya dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).

Dengan LSM yang mengelola Indeks dan Statistik Putusan Pengadilan ini, Imam kebagian tugas untuk menerjemahkan putusan-putusan yang menjadi terobosan di Belanda, dan berhubungan dengan Indonesia. “Targetnya sebenarnya mungkin sekitar 15 atau 20 putusan yang akan dikerjakan dalam tiga bulan,” ungkapnya. 

Tujuan penerjemahan ini, lanjutnya adalah memberikan gambaran bagaimana putusan Belanda itu dibuat. Selain itu, goal yang lebih besar lagi, untuk memberikan wawasan kepada masyarakat hukum Indonesia yang sering diperdebatkan di tanah air.

“Contohnya, misalnya di Indonesia, ahli hukum sering menulis tentang putusan Lindenbaum vs Cohen- kasus ‘spionase’ perusahaan, dimana putusan pengadilan kasus ini berdampak pada perluasan definisi “perbuatan melawan hukum”-. Hakim Indonesia diminta jangan positivistik, dia harus seperti hakim yang memutus perkara Lindenbaum vs Cohen. Tapi, apa pernah baca putusan itu (secara utuh,-red)?” ujarnya.

Kedua, kegiatan lain yang dikerjakannya adalah bergabung sebagai salah seorang koordinator Clearing House di Center for Legal Cooperation (sebuah LSM hukum di Belanda). Tujuannya, untuk meningkatkan koordinasi para pihak di Belanda yang berhubungan dengan kerjasama Belanda-Indonesia.

Salah satunya adalah kerjasama antara Mahkamah Agung dan Hooge Raad (MA Belanda) yang sudah tertuang dalam MoU. Dan juga kerja sama Diklat Hakim di Indonesia dengan Sekolah Hakim Jaksa di Belanda. “Ini sudah ada MoU-nya, tapi belum berjalan,” pungkasnya.

Pembaharuan peradilan –meski sudah menghasilkan dampak positif- memang belum selesai, masih banyak perbaikan atau perlunya keterlibatan masyarakat untuk membantu pengadilan bisa berubah menjadi lebih baik.

Terus berkarya, Meneer Imam!
Tags:

Berita Terkait