Perlu Partispasi Masyarakat dalam Pemilihan Pejabat Publik
Berita

Perlu Partispasi Masyarakat dalam Pemilihan Pejabat Publik

Selalu dibuka ruang agar masyarakat memberikan jejak rekam calon pejabat publik, sebagai tambahan informasi dalam melakukan pemilihan.

Oleh:
RFQ/ASH
Bacaan 2 Menit
Perlu Partispasi Masyarakat dalam Pemilihan Pejabat Publik
Hukumonline
Beberapa pengalaman pemilihan pejabat publik yang melibatkan DPR dengan menggelar uji kepatutan dan kelayakan terkadang mengundang kontroversi. Pemilihan yang cenderung politis, pemilihan tanpa didasari parameter yang jelas, hingga pemilihan diwarnai isu dugaan suap sering menjadi persoalan.  

Ada beberapa calon pejabat publik seperti duta besar, Kapolri, Gubernur Bank Indonesia, Anggota BPK, komisioner negara, hingga calon hakim agung yang proses pemilihannya diseleksi pemerintah dan DPR. Berdasarkan UU, lembaga itu memang berwenang untuk sekedar memilih, sebagian memberi persetujuan, atau memilih dan meneruskan hasil seleksi kepada presiden untuk mendapatkan penetapan secara administratif.  

Persoalan muncul dalam seleksi calon hakim agung (CHA) yang selama ini dilakukan oleh KY dan DPR. Dalam beberapa seleksi CHA, KY tak mampu memenuhi kuota 3 banding 1 sesuai yang dibutuhkan MA. Selain itu, kewenangan DPR memilih hakim agung ini rentan disusupi permainan politik yang berakibat CHA (karier) yang pernah gagal, enggan kembali mendaftarkan seleksi CHA pada periode berikutnya.   

Makanya melalui putusannya, MK mengubah kewenangan DPR ‘memilih’ menjadi ‘persetujuan’ CHA terkait pengujian UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) yang dimohonkan eks CHA yaitu Dharma Weda, RM. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo yang diwakili Koalisi LSM.

Kuasa hukum eks CHA, Bahrain mengatakan bisa saja semua ketentuan undang-undang yang melibatkan DPR dalam pemilihan pejabat publik diujimaterikan ke MK. Namun, menurut dia, keterlibatan pemilihan pejabat publik tidak terlepas dari sistem pemerintahan yang abu-abu. Di satu sisi, sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial. Sisi lain, aturan soal ini terlihat sistem yang dianut sistem parlementer.

“Itu menunjukkan bagaimana kekuasaan parlemen/DPR begitu luas atau kuat, sehingga terkesan sistemnya tidak konsisten. Sebab, faktanya apapun yang dibuat presiden tetap melalui mekanisme DPR,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Jumat (24/14). 

Terlepas dari itu, kata Bahrain, kewenangan DPR memilih dan atau menyetujui pejabat publik tetap harus memberi ruang keterlibatan publik secara terbuka. Sebab, fenomena pemilihan pejabat publik yang terjadi lebih mengarah pada politik transaksional.  

“Bagaimanapun mekanismenya kan tetap saja pertanggungjawabannya ke publik, karena itu beri ruang publik, partisipasi, transparan agar masyarakat bisa memberi masukan/koreksi bagi calon pejabat publik,” pesannya.

“Transparansi dan partisipasi publik itu penting karena kedaulatan/kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.”   

Ketua Divisi Advokasi YLBHI ini menegaskan sebenarnya mekanisme pemilihan atau persetujuan apapun baik untuk diterapkan. Namun, yang dikhawatirkan kondisi parlemen saat ini kepentingan politik lebih di kedepankan.

“Saat ini saja, dalam daftar calon tetap, hampir 80 persen calon anggota legislatif merupakan wajah-wajah lama,” ujarnya.

Anggota Komisi III Eva Sundari Kusuma mengatakan, dalam mengambil keputusan maupun memberi persetujuan kepada calon pejabat publik, DPR meminta masukan dari masyarakat. Dalam pemilihan calon hakim agung, misalnya, DPR sudah membuka ruang agar masyarakat memberi masukan seputar jejak rekam calon sebelum dilakukan pemilihan dan persetujuan.

Terkait kemungkinan UU yang melibatkan DPR dalam pemilihan dan memberi persetujuan calon pejabat lembaga negara diuji materi ke MK, Eva mempersilakan. Namun,  dalam konstitusi yang mengatur DPR memberikan persetujuan hanyalah pada lembaga MK.

Sedangkan persetujuan calon hakim agung menjadi hakim agung dituangkan dalam UU MA. “Kan rujukannya konstitusi. Kalau di konstitusi itu jelas  menyetujui. Tetapi kalau untuk lembaga lain sepanjang tidak diatur seperti di konstitusi tetap seperti berlangsung sekarang ini (pemilihan, red),” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Anggota Komisi III lainnya, Martin Hutabarat mengamini pandangan Eva. Menurutnya, lembaga yang melakukan seleksi terhadap calon komisioner lembaga negara hanyalah DPR. “Silakan boleh saja (menguji materi UU lembaga tertentu terkait seleksi calon komisioner, red). Tetapi kan tidak ada di UUD,” pungkas politisi Partai Gerindra itu.
Tags:

Berita Terkait