Menunggu Gebrakan OJK Lindungi Konsumen Bank
Fokus

Menunggu Gebrakan OJK Lindungi Konsumen Bank

Apapun aturan yang dibuat, setidaknya prinsip know your customer dan keadilan tetap dijunjung tinggi oleh pelaku jasa keuangan dan konsumen.

Oleh:
FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Menunggu Gebrakan OJK Lindungi Konsumen Bank
Hukumonline
Beralihnya fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki makna tersendiri bagi lembaga yang belum lama lahir tersebut. Terlebih, selaku penerima mandat, OJK memiliki bidang baru yakni edukasi dan perlindungan konsumen.

Bidang ini pula yang menjadi pintu masuk OJK untuk meminimalisir terjadinya sengketa antara pelaku jasa keuangan dengan nasabah atau konsumen. Berbicara mengenai perlindungan konsumen, OJK sendiri telah menerbitkan aturan. Peraturan tersebut bernomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan tersebut ditandatangani pada 26 Juli 2013 silam.

Otomatis, peraturan ini menjadi beleid pertama OJK sejak berdiri. Sayangnya, peraturan ini masih bersifat umum. Sedangkan untuk aturan lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat di setiap sektor keuangan akan diterbitkan melalui surat edaran. Hingga kini, belum ada satupun surat edaran OJK yang mengatur lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat di tiap masing-masing sektor keuangan.

Meskipun begitu, OJK tengah mengkaji aturan internal mengenai pembelaan hukum bagi konsumen. Menurut Deputi Komisoner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sri Rahayu Widodo, aturan internal ini merupakan salah satu amanat dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Dalam Pasal 30 UU OJK dinyatakan, untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum yang meliputi, memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan lembaga jasa keuangan dimaksud. Mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian atau memperoleh ganti rugi kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen.

Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), David ML Tobing, mengapresiasi rencana OJK tersebut. Menurutnya, aturan internal pembelaan internal tersebut hanya menyangkut mengenai kriteria dan syarat-syarat konsumen yang dapat dibela.

David mengingatkan, berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain konsumen sendiri, gugatan bisa diajukan melalui kelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen hingga instansi pemerintah. “Karena OJK sebagai pihak yang mewakili konsumen melakukan gugatan berdasarkan UU Perlindungan Konsumen itu syaratnya harus konsumen dalam jumlah banyak dan kerugian yang besar,” katanya.

Menilik pengalihan fungsi pengawasan perbankan ke OJK, membuat otoritas memiliki tugas baru dalam hal perlindungan konsumen. Perpindahan kewenangan ini diharapkan dapat memperbaiki sistem perlindungan konsumen atau nasabah perbankan. Selama ini tak sedikit nasabah merasa tertipu oleh produk dan layanan yang ditawarkan oleh bank.

Besarnya risiko berinvestasi di bank, membuat kepercayaan masyarakat terus merosot terhadap perbankan. Salah satu kasus yang tak hilang dari ingatan adalah kasus Bank Century. Produk berupa reksa dana yang dikeluarkan PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia, disinyalir hanya sebagai kendaraan untuk membobol duit nasabah Bank Century. Atas dasar itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selaku pemilik baru Century menolak membayar ganti rugi dana nasabah.

Kasus lain adalah dugaan pembobolan dana PT Elnusa Tbk dan Pemerintah Kabupaten Batubara di Bank Mega yang mencapai ratusan miliar. Belum lagi kasus dugaan kredit macet Bank Bukopin dalam pembangunan alat pengering gabah atau drying center yang diduga merugikan keuangan negara mencapai Rp76,3 miliar.

Peringatan OJK
Kasus di atas hanya sekelumit dari kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Seiring beralihnya fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK, maka kasus-kasus seperti di atas akan ditangani OJK. Agar sengketa antara konsumen atau nasabah dengan pelaku jasa keuangan tak melebar lebih jauh, OJK telah mengingatkan pelaku jasa keuangan untuk melindungi nasabahnya.

Peringatan itu tertuang dalam POJK tentang Perlindungan Konsumen. Dalam POJK, pelaku jasa keuangan termasuk perbankan diwajibkan untuk memiliki unit kerja yang berfungsi menangani dan menyelesaikan pengaduan konsumen. Setidaknya, pelaku jasa keuangan tersebut wajib menunjuk satu orang pegawainya yang menangani penyelesaian pengaduan konsumen. Kewajiban ini harus sudah dilakukan pelaku jasa keuangan satu tahun setelah peraturan diundangkan, tepatnya pada 7 Agustus 2014.

Bukan hanya itu, dalam aturan juga disebutkan mengenai kewajiban pelaku jasa keuangan untuk memiliki mekanisme pelayanan dan pengaduan konsumen. Mekanisme ini harus diberitahukan kepada konsumen dan tak boleh ada pungutan biaya. Untuk jangka waktu pengaduan konsumen, pelaku jasa keuangan wajib menindaklanjutinya paling lambat 20 hari kerja setelah pengaduan diterima.

Jangka waktu tindaklanjut ini bisa diperpanjang selama satu kali dengan tenor 20 hari kerja jika terdapat kondisi tertentu. Misalnya, kantor pelaku jasa keuangan yang menerima aduan berbeda dengan kantor pelaku jasa keuangan tempat terjadinya masalah. Kondisi lain adalah terdapatnya transaksi keuangan yang diadukan konsumen memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen pelaku jasa keuangan. Dan yang terakhir, terdapatnya keterlibatan pihak ketiga dalam transaksi keuangan yang dilakukan konsumen.

Setelah menerima pengaduan konsumen, pelaku jasa keuangan wajib memeriksa internal secara kompeten, benar dan obyektif. Selain itu, pelaku jasa keuangan juga wajib melakukan analisis untuk memastikan kebenaran dari pengaduan konsumen tersebut. Bahkan, pelaku jasa keuangan wajib menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi atau perbaikan produk dan layanan jika pengaduan konsumen tersebut terbukti benar.

OJK sadar, pengaduan konsumen tak pasti berakhir dengan kesepakatan di antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, OJK menegaskan dalam peraturannya bahwa penyelesaian sengketa bisa dilakukan oleh konsumen di luar pengadilan atau melalui pengadilan apabila tak mencapai kata sepakat.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut bisa dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Atas dasar itu, Anggota Dewan Komisioner bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kusumaningtuti S Setiono menyarankan agar seluruh asosiasi di industri keuangan misalnya perbankan, seperti Perbanas, Himbara dan Perbarindo membuat satu badan khusus menangani sengketa perbankan di luar pengadilan.

Menurut Tituk, badan itu nantinya yang menangani mediasi, ajudikasi hingga arbitrase sengketa antara industri perbankan dengan nasabahnya. Ia berharap, badan alternatif penyelesaian sengketa perbankan ini terbentuk pada akhir tahun 2015 mendatang. Pembentukan badan ini sesuai dengan roadmap OJK di bidang perlindungan konsumen.

“Kita sekarang sedang persiapkan roadmap, jadi (sengketa perbankan, red) tidak lagi ditangani langsung oleh OJK karena nanti kita juga minta para asosiasi di perbankan membentuk juga badan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan,” tutur Tituk beberapa waktu lalu.

Meski badan alternatif penyelesaian sengketa tersebut dibentuk oleh asosiasi-asosiasi industri perbankan, OJK yakin independensi dalam menyelesaikan sengketa tetap terjaga. Ia mencontohkan, independensi yang telah dilakukan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) selama ini. “Itu independen, karena tidak boleh diintervensi oleh siapapun,” katanya.

Perlindungan Bank
Jika melihat sejumlah substansi di POJK, secara garis besar hanya konsumen yang memperoleh perlindungan. Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan besar dari kalangan praktisi perbankan. Terlebih lagi dengan adanya UU khusus bagi perlindungan konsumen, yang semakin membuat perbankan seolah-olah terpojok.

Padahal, dari kasus yang melibatkan dunia perbankan, bisa saja bank menjadi korban. Misalnya saja terjadinya kasus kredit macet. Atas dasar itu, kepastian perlindungan hukum bagi bank menjadi kebutuhan tersendiri industri perbankan. Apalagi lembaga perbankan yang selama ini melayani nasabah di penjuru nusantara juga bertindak selaku pemegang agunan. Khususnya jaminan atas sejumlah dana yang dipinjam masyarakat melalui program penyaluran kredit.

Salah satu kepastian perlindungan hukum bagi perbankan ketika terjadi kredit macet, maka bank selaku kreditur memiliki hak untuk menjual obyek yang dijaminkan debitur. Misalnya melalui pelelangan umum, perbankan berhak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hal itu juga berlaku saat debitur dalam keadaan pailit seperti diatur pada ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang jo Pasal 21 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

“Aturan itu menunjukkan bahwa undang-undang mengakui hak separatis bagi kreditur pemegang hak tanggungan. Sementara, pelaksanaan eksekusi lelang hak tanggungan merupakan konsekuensi logis dari penandatanganan atas perjanjian kredit oleh kreditur/bank dengan debitur/penanggung hutang saat manakala debitur 'wanprestasi',” tutur Perwakilan BI Titien Sumartini.

Alasan ini pula yang melatarbelakangi munculnya usulan pemberian perlindungan bagi bank di RUU Perbankan yang tengah dibahas DPR. Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, usulan ini muncul untuk memberikan kepastian hukum bagi industri perbankan. “Kan yang sudah ada UU Perlindungan Konsumen. Tapi kalau bank-banknya baik-baik saja, konsumennya yang bermasalah itu bagaimana?,” tanya politisi Partai Golkar ini.

Ia menjelaskan, yang dimaksud perlindungan terhadap industri perbankan dalam usulan tersebut adalah kesepakatan di tahap mediasi sudah bersifat final dan mengikat, sehingga tak bisa dibawa lagi oleh konsumen ke ranah pengadilan. Meski begitu, usulan ini belum sepenuhnya disepakati untuk masuk ke RUU Perbankan. Atas dasar itu, usulan perlindungan terhadap industri perbankan ini menjadi salah satu usulan yang di-pending persetujuannya oleh internal komisi.

Akademisi bidang Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Indonesia, Inosentius Samsul, menyambut baik aturan ini. Ia menilai wacana perlindungan terhadap perbankan di RUU Perbankan itu merupakan wacana yang positif yang melindungi para pihak. Menurutnya, jika hanya industri perbankan yang terikat kepada keputusan mediasi, maka persoalan sengketa akan terus berlarut-larut.

Apapun aturan yang dibuat, setidaknya prinsip-prinsip know your customer dan keadilan tetap dijunjung tinggi oleh pelaku jasa keuangan dan konsumen. Hingga pada akhirnya, baik pelaku jasa keuangan dan konsumen sama-sama saling menghargai hak dan kewajibannya.
Tags:

Berita Terkait