Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Bisa Meningkat
Berita

Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Bisa Meningkat

Sepanjang tahun 2013, AMAN tangani 143 kasus kekerasan terhadap masyarakat adat.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Bisa Meningkat
Hukumonline
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan konflik disertai kekerasan berupa perampasan tanah, wilayah, dan sumber daya alam di wilayah adat akan terus meningkat pada 2014 jika jika pemerintah tidak serius mengimplementasikan dan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK)No.35/PUU-X/2012 bahwa hutan adat bukan lagi sebagai hutan negara.

Kekhawatiran itu terungkap dalam Catatan Awal Tahun AMAN bertajuk ‘Tonggak Sejarah Masyarakat Adat Harus Diperkuat’ di Jakarta, Senin (27/1) kemarin. Sejumlah tokoh dan pemerhati masyarakat adat hadir dalam acara tersebut.

Selama 2013, AMAN menangani 143 kasus konflik kekerasan terhadap masyarakat adat. Diperkirakan jumlah kasus konflik pada tahun lalu akan meningkat pada tahun kuda ini. Bahkan bisa tiga kali lebih besar dari yang telah ditindaklanjuti AMAN karena banyak yang tidak dilaporkan dan tidak terdokumentasi dengan baik. Sekadar contoh, enam bulan paska penetapan UU No. 18 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), tiga bulan setelah Putusan MK No 35tersebut, sudah 11 orang warga masyarakat adat ditangkap  dan terjadi pengusiran terhadap 378 kepala keluarga di Bengkulu dan Kalimantan Selatan. Tindakan aparat justru merujuk pada UU P3H ini.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, memperkirakan pada tahun ini jumlah konflik akan tetap tinggi,bahkan meningkat karena pemerintah lamban menindaklanjutiputusan MK No. 35/PUU-X/2012.Perkembangan selama delapan bulan terakhir menunjukkan minimnya komitmen pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan, menindaklanjuti putusan MK. Abdon meminta Presiden mengeluarkan instruksi khusus tentang wilayah adat.

Anggota Komnas JAM, Sandra Moniaga, mengatakan Komnas memaknai putusan MK sebagai bentuk koreksi negara atas kebijakan yang tidak didasari penghormatan hak-hak asasi manusia yang selama ini telah dijadikan dasar hukum atas pengakuan pemerintah secara sepihak atas wilayah-wilayah masyarakat hukum adat sebagai bagian dari hutan negara. “Putusan MK tersebut semestinya ditempatkan sebagai pintu masuk untuk melakukan langkah-langkah pemulihan/restitusi hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya, termasuk hutan adatnya,” ujarnya.

Bagi masyarakat adat dan juga bangsa Indonesia Putusan MK No.35 merupakan tonggak sejarah karena berarti diakuinya kembali HAM masyarakat adat terhadap wilayah mereka. Putusan MK sejalan dengan Rio Declaration on Environment and Development, yaitu masyarakat hukum adat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan dan praktik tradisional.

Karena itu pada tahun ini tonggak sejarah tersebut harus diperkuat dengan perundangan yang makin menjamin HAM masyarakat adat, seperti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
Tags:

Berita Terkait