DPR Setujui RPP Kebijakan Energi Nasional
Berita

DPR Setujui RPP Kebijakan Energi Nasional

Setelah dilakukan lobi, disepakati mengubah redaksional Pasal 1 ayat (31) dan Pasal 20 ayat (1).

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
DPR Setujui RPP Kebijakan Energi Nasional
Hukumonline
Setelah melewati perdebatan panjang, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) disetujui anggota dewan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (28/1). RPP ini diharapkan menjadi regulasi dalam mengatur kebutuhan energi nasional yang kian meningkat.

“Apakah dapat disetujui,” ujar pimpinan rapat paripurna, Sohibul Iman. Anggota dewan yang hadir sepakat menyatakan persetujuannya.

Dalam laporan akhir, Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana mengatakan meningkatnya kebutuhan energi nasional membuat perlunya kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam. Meski Indonesia memiliki energi sumber daya alam yang melimpah, namun pengelolaannya belum dilakukan secara optimal.

Menurutnya, permasalahan pengelolaan energi masih menemui kendala. Misalnya, rendahnya investasi, rendahnya penguasaan teknologi, terbatasnya anggaran dalam negeri, serta rendahnya akses masyarakat terhadap energi.

“Melihat permasalahan tersebut, pemerintah harus melakukan pengelolaan energi dalam rangka mewujudkan kebijakan energi nasional. Oleh karena itu pemanfaatan energi fosil dan non fosil harus efektif,” ujarnya.

Dikatakan  Sutan, perkiraan energi nasional perlu diimbangi dengan pasokan energi di masa yang akan datang hingga 2050. Menurutnya, proyeksi pertumbuhan energi ditandai dengan besarnya pasokan energi. Misal, meminimalisir pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM), memanfaatkan gas dan batubara. Strategi tersebut, kata Sutan, digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi.

“Dengan memperhatikan itu akan menghasilkan energi yang optimal,” katanya.

Meski demikian, Sutan berpandangan masih diperlukannya subsidi energi bagi masyarakat. Selain itu, diperlukan kemudahan fiskal dan non fiskal bagi penyedia energi. Menurutnya, regulasi terhadap panas bumi dilakukan agar terdapat kepastian nilai ekonomi yang ujungnya mampu meningkatkan investasi.

“Dengan melakukan pembahasan intensif dengan dewan energi nasional, maka Komisi VII menyetujui rancangan regulasi kebijakan ini dijadikan kebijakan energi nasional,” katanya.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengaku senang atas  disetujuinya RPP tersebut. Menurutnya, RPP KEN menjadi titik penting dalam perjalanan bangsa. Pasalnya, Indonesia telah memiliki KEN definitif yang telah disepakati dan disetujui DPR.

“Dengan demikian seluruh program bidang energi harus mengacu dan berpenjuru pada kebijakan energi nasional,” ujarnya.

Menurut Jero, sebelumnya Indonesia telah memiliki kebijakan. Namun kebijakan energi yang lama itu perlu disempurnakan hingga 2050. Dalam KEN terdapat prinsip dasar yang intinya mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Dengan begitu, kebijakan energi nasional diubah. Semula, 49 persen energi bergantung pada minyak. Namun, kini ketergantungan terhadap minyak menjadi 23 persen.

Perdebatan alot
Dalam rapat, anggota Komisi III Nudirman Munir interupsi. Nudirman menyoroti Pasal 10 terkait ketersediaan energi ulang diperuntukkan kebutuhan nasional. Ia berpandangan, pasal tersebut hanya mengatur mekanisme meningkatkan ketersediaan energi. Misalnya, eksplorasi dan produksi dalam negeri. Sayangnya, tidak mengatur keterbukaan dalam penyediaan energi.

“Tidak ada keterbukaan mengenai pembelian energi sehingga ada dugaan mafia dalam pembelian. Dengan keterbukaan maka masyarakat dan media bisa ikut memantau. Nah hal-hal seperti ini sangat merugikan bangsa,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Anggota Komisi XI  Dolfie OFP bersikukuh meminta penjelasan Pasal 1 ayat (31). Soalnya, dalam rumusan pasal itu terdapat frasa ‘keuntungan’. Pasal 1 ayat (31) berbunyi, “Keekonomian Berkeadilan adalah suatu nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi serta keuntungan yang dikaji berdasarkan kemampuan masyarakat”.

“Konsep keuntungan tidak jelas, kami minta diubah menjadi peningkatan atau pendapatan negara,” ujarnya.

Menanggapi interupsi tersebut, Sutan berpendapat Komisi VII telah melakukan pembahasan secara detail dan mendalam. Lagi pula, dalam Komisi VII telah terdapat perwakilan masing-masing fraksi. “Ini sudah dibahas. Silakan tanya ke masing-masing wakil fraksi di Komisi VII. Jadi bukan saatnya membongkar di sini,” ujarnya.

Sutan menjelaskan, Komisi VII sudah melakukan pembahasan secara mendalam. Dia kemudian meminta anggota DPR yang melakukan interupsi tersebut untuk berkomunikasi dengan rekan dari fraksinya masing-masing di Komisi VII.

"Ini sudah dibahas. Kalau yang bertanya itu silakan tanyakan ke wakil-wakil fraksi di Komisi VII. Jadi bukan saatnya membongkar ini disini," ujarnya.

Tak puas dengan jawaban Sutan, disepakati forum lobi.  Awalnya, lobi dilakukan di depan meja pimpinan rapat paripurna. Namun lantaran terjadi perdebatan panjang dan belum menghasilkan kesepakatan, maka lobi pun dipindahkan ke ruang di belakang ruang rapat paripurna.

Sohibul Iman yang juga wakil ketua DPR mengatakan,  setelah melakukan lobi selama 30 menit, maka disepakati beberapa hal. Pasalnya, dalam rapat paripurna muncul interupsi dari sejumlah anggota dewan. Dalam rapat, pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 1 ayat (31) dan Pasal 20 ayat (1) dalam RPP KEN.

Sohibul mengatakan, keputusan dalam forum lobi disepakati mengubah bunyi  Pasal 1 ayat (31) menjadi “Keekonomian berkeadilan adalan suatu nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi energi serta keberlangsungan investasi yang dikaji berdasarkan kemampuan masyakat”.

Sedangkan Pasal 20 ayat (1) mengalami perubahan redaksional menjadi lebih sederhana yakni “Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan”.
Tags:

Berita Terkait