Daya Saing dalam MEA Terganjal Kebijakan BI Rate
Berita

Daya Saing dalam MEA Terganjal Kebijakan BI Rate

BI akan memperluas akses perbankan ke daerah yang belum ramai.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Daya Saing dalam MEA Terganjal Kebijakan BI Rate
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) adalah lembaga yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan suku bunga acuan atau BI rate. Sejak rupiah anjlok, BI telah berkali-kali melakukan revisi BI rate. Saat ini, BI rate yang ditetapkan oleh BI berada pada angka 7,5 persen.

Suku bunga BI yang mencapai 7,5 persen tersebut tak hanya menjadi persoalan bagi pihak perbankan dalam negeri, terutama menyoal kredit. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan besaran suku bunga acuan tersebut menjadi tantangan berat bagi pelaku usaha domestik dalam hal meningkatkan daya saing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Akibatnya, persaingan antar pelaku usaha di kawasan Asia Tenggara akan semakin berat. Jika dibandingkan dengan negara lain, Bayu menilai suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh Indonesia tergolong tinggi. Meskipun sebelumnya BI juga pernah menetapkan suku bunga acuan yang lebih tinggi dari saat ini.

“Kredit yang diambil para pelaku usaha kita berarti lebih tinggi dibandingkan dengan para pelaku usaha di negara lain terutama ASEAN. ini merupakan tentangan tersendiri,” kata Bayu saat membuka seminar bertajuk "Integrasi Sistem Pembayaran Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015" di The Ritz-Carlton Jakarta, Rabu (29/1).

Untuk itu, pekerjaan utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah menjelang pelaksanaan MEA 2015 mendatang adalah mengimbangi besaran BI rate tersebut dengan potensi peningkatan daya saing yang dimiliki oleh Indonesia. Tentunya, pengimbangan tersebut harus diikuti dengan kelebihan lain yang dimiliki oleh Indonesia agar persoalan dapat diatasi.

Tetapi, lanjut Bayu, upaya untuk mengimbang tingginya BI rate tersebut, pemerintah tidak akan mencampuri kebijakan bank sentral. Kendati interest rate dari BI dinilai menjadi kendala tersendiri bagi pelaku bisnis dalam negeri.

Sementara terkait bisnis sistem pembayaran, Bayu mengingatkan agar angka masyarakat yang terkoneksi dengan sistem perbankan dapat semakin diperbanyak. Hingga saat ini, dari 150 juta penduduk usia produktif, hanya sekita 30 juta atau sekitar 20 persen saja yang telah terkoneksi dengan bank.

“Dibandingkan dengan negara lain, angka itu sangat kecil. Jadi karena 20 persen terinteraksi dengan bank, bisa dibayangkan sistem pembayaran menggunakan institusi mungkin tidak jauh dari itu. Dibandingkan dengan negara lain, kita jumlahnya paling sedikit,” ujarnya.

Pada acara yang sama, Direktur Eksekutif DKPSP Bank Indonesia, Rosmaya Hadi, mengatakan selaku pihak yang memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan sistem pembayaran, BI akan merapikan industri agar lebih efisien. BI berharap kebijakan industri nasional lebih mendahulukan kepentingan nasional.

Perbaikan yang dilakukan oleh BI juga menyasar sektor lain seperti penyempurnaan arsitektur sistem pembayaran, pengembangan National Payment Gateway (NPG) agar bisa mengatur transaksi di dalam negeri serta penyusunan standarisasi sistem pembayaran yang terkoneksi. Rosmaya juga mengaku BI akan mempercepat proses e-money ke sektor transportasi seperti busway dan kereta api. “Dari sisi pengaturan, akan diluncurkan tahun ini penguata e-money dan perdagangan valuta asing,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait