Poin-Poin Usulan Revisi MoU Indonesia-Brunei
Berita

Poin-Poin Usulan Revisi MoU Indonesia-Brunei

Jangan sekadar untuk mencapai kuota pengiriman TKI.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Poin-Poin Usulan Revisi <i>MoU</i> Indonesia-Brunei
Hukumonline
Pemerintah Indonesia dan Brunei Darussalam melanjutkan kembali pembahasan amandemen atau revisi nota kesepahaman (MoU) penempatan pekerja migran Indonesia. Awal pekan ini, Muhaimin sudah terbang ke Bandar Seri Begawan untuk membahas amandemen nota kesepahaman itu.

Muhaimin menjelaskan sudah bertemu Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri Brunei Darussalam YB Pehin Udana Khotib Dato Paduka Seri Setia Ustaz Haji Awang Badaruddin Bin Pengarah Dato Paduka Haji Awang Othman, Senin (27/1) lalu. Dalam pertemuan itu Indonesia menyampaikan komitmen merevisi nota kesepahaman tentang penempatan TKI. Upaya serupa pernah digagas Oktober 2012 silam. Nota kesepahaman kedua negara dibuat pada 2008.

"Secara umun kerangka acuan untuk perubahan MoU yang ditetapkan kedua negara pada 2008 telah disepakati. Oleh karena itu kita berharap pembaruan MoU ini bisa diselesaikan dalam waktu dekat," harap Muhaimin.

Salah satu materi revisi MoU adalah pengaturan waktu
istirahat pekerja rumah tangga (PRT). Indonesia mengusulkan satu hari libur dalam sepekan. Selain itu, pekerja Indonesia berhak memegang paspor sehingga tak ditahan-tahan majikan.

Usulan lain adalah besaran upah minimum bagi pekerja migran Indonesia, akses komunikasi dengan perwakilan RI dan keluarga serta adanya uraian tugas yang jelas. Tak kalah penting pemerintah mengupayakan ada mekanisme penyelesaian perselisihan dalam hubungan kerja.

Muhaimin melanjutkan, MoU itu harus disesuaikan dengan regulasi baru yang berlaku di Brunei berkaitan dengan penggunaan agen dalam perekrutan PRT. Sebelum peraturan itu terbit perekrutan dilakukan secara individu. "Brunei sudah ada aturan untuk penggunaan agen dalam merekrut PLRT. Sebelumnya belum ada, sehingga dulu dilakukan secara perorangan. Ini yang harus disinkronkan dengan aturan PPTKIS (PJTKI,-red) di Indonesia," ujarnya.

Muhaimin mengatakan pemerintah masih membenahi penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik. Sampai saat ini mekanisme penempatan dan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia sedang disiapkan. Tapi untuk Brunei Muhaimin melihat secara umum tidak banyak maslah yang menimpa pekerja migran Indonesia. "Namun yang perlu dievaluiasi adalah penarikan charge dari agen penempatan dan penyusunan cost structure (biaya penempatan,-red)," tuturnya.

Pembahasan MoU itu telah sampai pada joint meeting. Dalam proses itu antar perwakilan negara saling tukar informasi dan pandangan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pekerja migran di masing-masing negara. "Diharapkan ke depan dengan adanya pertemuan ini semakin meningkatkan hubungan kerjasama kedua negara sehingga target zero domestic worker 2017," ujarnya.

Kemenakertrans mencatat Brunei menjadi salah satu negara tujuan
pekerja migran Indonesia. Saat ini ada 67.913 pekerja migran Indonesia
yang bekerja di brunei. Dari jumlah itu 55 persen bekerja di sektor
domestik dan sisanya di berbagai industri seperti perkebunan.

Aggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, mengatakan sebagaimana amanat UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN), MoU wajib dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara tujuan  penempatan. Sehingga, perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia dapat terjaga. "Jangan seperti penemapatan di Arab Saudi, kita tidak ada MoU tapi tetap mengirim TKI kesana," tandasnya.

Poempida mengingatkan yang perlu dipertajam dalam MoU adalah bagaimana para pekerja migran Indonesia terlindungi dari tindakan yang melecehkan ataupun zalim. Caranya dengan penegakan aturan hukum sehingga pelaku tindak kejahatan terhadap pekerja migran Indonesia dapat dijatuhi sanksi tegas.

Kemudian, mengingat tahun depan Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berjalan, Poempida mengatakan jangan sampai upah minimum pekerja migran Indonesia tidak kompetitif. Ia berharap besaran upah yang diterima pekerja migran Indonesia di Brunei harus lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, menegaskan agar ketentuan yang dituangkan dalam MoU jangan sekadar basa-basi, atau mengejar kuota agar pekerja migran Indonesia dapat ditempatkan sebanyak-banyaknya ke Brunei. Hal utama yang harus dimasukan dalam MoU adalah perlindungan bagi pekerja migran. Misalnya, memastikan pekerja migran Indonesia mendapat upah layak dan hak haknya sebagai pekerja terpenuhi.

Walau data statistik tentang pelanggaran atas hak-hak pekerja migran Indonesia di Brunei tidak sebanyak Malaysia, bukan berarti tidak ada masalah. Pasalnya, secara umum Anis melihat situasi dan kondisi kerja sektor domestik di Brunei tak jauh berbeda dengan negara lain. Apalagi Brunei belum mengatur khusus tentang hak-hak PRT seperti hari libur dan upah minimum.

Peraturan tingkat nasional menurut Anis berpengaruh pada implementasi MoU. Jika regulasi nasional minim maka kebijakan bilateral yang diatur lewat MoU terkesan formalitas karena implementasinya tidak jelas. Misalnya, siapa yang dapat memastikan PRT mendapat libur satu hari dalam sepekan jika di negara penempatan tidak ada ketentuan yang mengatur.
Tags:

Berita Terkait