Saatnya Perbankan Berkonsolidasi
Berita

Saatnya Perbankan Berkonsolidasi

Ketahanan perbankan bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Saatnya Perbankan Berkonsolidasi
Hukumonline
Otoritas Jasa keuangan (OJK) menilai tahun 2014 merupakan tahun yang tepat bagi perbankan untuk berkonsolidasi. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, konsolidasi dilakukan agar industri keuangan di Indonesia semakin likuid dan tumbuh.

“Saya kira timing-nya pas, OJK sedang melihat satu persatu. Kalau memang ada kesempatan untuk lakukan konsolidasi kita dorong bank-bank untuk melakukan konsolidasi,” kata Muliaman di Jakarta, Senin (3/2).

Muliaman menuturkan, konsolidasi merupakan cita-cita Indonesia pada saat menata perbankan di dalam negeri. Menurutnya, salah satu faktor yang dapat mewujudkan konsolidasi adalah mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/8/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.

Dalam aturan tersebut intinya memerlukan peningkatan ketahanan di industri perbankan terkait berkembangnya perekonomian regional dan global. Untuk meningkatkan ketahanan perbankan bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik atau good corporate governance.

Ia percaya kondisi perbankan di Indonesia saat ini masih baik. Hal ini  terlihat dari banyaknya investor yang melirik saham-saham perbankan di bursa. “Ini menunjukkan bahwa prospek perbankan di Indonesia itu sangat cerah, karena juga sangat profitable,” katanya.

Meski memiliki prospek yang cerah, Muliaman mengingatkan, konsolidasi dilakukan agar tantangan di industri perbankan harus tetap terjaga. Misalnya kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL), penguatan modal hingga tantangan likuiditas. Ia percaya jika dibandingkan dengan kinerja industri keuangan di ASEAN, Indonesia masih tak kalah bagus dengan negara lain.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony A Prasetiantono sepakat jika tahun ini merupakan waktu yang tepat bagi perbankan untuk berkonsolidasi. Menurutnya, konsolidasi dilakukan untuk mencegah terjadinya imbas dari kebijakan atau keadaan yang terjadi di negara lain atau global.

Misalnya, lanjut Tony, data pengangguran di Amerika Serikat (AS) yang terus menurun. Hal ini dapat mempengaruhi rencana kebijakan pengurangan stimulus moneter atau tapering off oleh AS.”Mei itu momentum, IHSG  turun rupiah melemah, karena bulan Mei AS keluarkan data pengangguran yang bagus,” katanya.

Meskipun industri perbankan selama ini tingkat profitabilitasnya sangat kuat, Ia menilai, kebijakan-kebijakan global seperti ini harus segera diantisipasi oleh perbankan di dalam negeri. Salah satu caranya adalah selektif dalam menyalurkan kredit. Tony mengatakan, salah satu potensi di sektor kredit yang dapat meledak adalah kartu kredit.

“Karena sejak awal bunganya tinggi, risiko juga besar. Secara umum perbankan harus waspada dalam pencairan kredit,” katanya.

Selain selektif dalam menyalurkan kredit, Tony menilai, suntikan modal tambahan juga penting bagi perbankan dalam menyambut kebijakan atau kondisi global. Bila perlu, persyaratan untuk mendirikan bank, harus diperketat lagi. “Persyaratan harus diperketat lagi, yang bisa mendorong adalah persyaratan modal,” katanya.

Ia mengatakan, jika pengurangan kredit ataupun suntikan modal sulit dilakukan, maka konsolidasi menjadi jalan keluar lainnya. Konsolidasi ini merupakan tugas besar OJK. Meskipun begitu, konsolidasi juga memiliki dampak negatifnya. Misalnya, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawan bank yang perusahaannya berkonsolidasi. Untuk mengantisipasi PHK tersebut, maka konsolidasi harus dibarengi dengan penguatan permodalan.

Tony mengatakan, dengan melihat karakteristik Indonesia, maka idealnya bank yang ada berjumlah 70. Tidak seperti sekarang, jumlah perbankan mencapai 120 bank. Salah satu perbanak yang perlu konsolidasi ada Bank Perkeditan Rakyat (BPR).

“Lebih baik banknya sedikit, tapi cabangnya banyak. Bukan banknya banyak tapi enggak ada cabang,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait