Kerabat, Murid, dan Rekan Mengenang Fajrul Falaakh
Utama

Kerabat, Murid, dan Rekan Mengenang Fajrul Falaakh

Sosok yang brilian, mandiri, dan teguh memegang prinsip.

Oleh:
RESA ESNIR/ABDUL RAZAK ASRI
Bacaan 2 Menit
Ratih Hardjono dan kedua anaknya di depan jenazah, Fajrul Falaakh. Foto: RES
Ratih Hardjono dan kedua anaknya di depan jenazah, Fajrul Falaakh. Foto: RES
Pemikiran yang bernas, mandiri, teguh memegang prinsip, brilian, dan kutu buku merupakan rangkaian kata yang diungkapkan sejumlah orang untuk mengenang sosok Fajrul Falaakh SH, MH, Msc yang baru saja berpulang ke Rahmatullah. Mereka adalah kerabat, rekan, dan murid dari Komisioner Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dikenal khas dengan logat Jawa ketika bertutur.

M Romahurmuziy atau yang akrab disapa Romy mengaku sangat kehilangan atas kepergian Fajrul. Bagi Romy, Fajrul bukan sekadar seorang kakak sulung di keluarga, tetapi juga figur ayah. “Karena ayah kami meninggal dunia di saat saya berusia lima tahun,” tutur Romy yang kini menduduki posisi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan.  

Romy ingat betul ketika dirinya masih di jenjang sekolah dasar, Fajrul selalu rajin mengantarnya ke sekolah. Sejak ayahanda meninggal, kata Romy, Fajrul muda sudah turut andil menopang ekonomi keluarga. Padahal, kala itu, Fajrul baru meniti karier di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, almamaternya.

Dikatakan Romy, Fajrul adalah orang yang independen dan teguh memegang prinsip. Bentuk kemandirian itu misalnya ketika Fajrul kuliah S2 di luar negeri, dia tidak pernah meminta kiriman dari ibunya. Sikap mandiri ini pun coba ditularkan ke adik-adiknya.

Romy ingat betul momen ketika dirinya hendak mengambil beasiswa ke luar negeri. Romy meminta bantuan Fajrul untuk memberikan surat rekomendasi sebagai syarat mengajukan beasiswa. Alih-alih diberikan rekomendari, Romy justru mendapat nasihat dari sang kakak tertuanya itu.

“Saya ini kakak kamu, masak saya memberikan rekomendasi. Cari orang yang kenal kamu saja untuk memberikan rekomendasi. Apapun yang kamu dapat, nasib kamu akan bergantung pada diri sendiri,” tutur Romy mengenang sosok Fajrul.

Hal lain yang dikenang Romy, Fajrul adalah kutu buku. Sepanjang hayatnya, Fajrul gemar membaca buku. Bahkan ketika almarhum ayahanda mewariskan sebidang tanah yang sekarang dijadikan pondok pesantren, Fajrul justru mengingatkan adik-adiknya atas warisan lain dari sang ayah yang lebih berharga.

“Dia selalu bilang kita harus menjaga warisan sebenarnya dari ayah yakni ilmu dan pengajaran.”

Pemikiran Bernas
Kenangan dua mantan murid Fajrul Falaakh, Refly Harun dan Denny Indrayana, lebih menyoroti sosok pria kelahiran Gresik, Jawa Timur itu sebagai seorang pakar hukum tata negara (HTN). Ditemui saat melayat di kediaman Fajrul, Refly mengenang Fajrul sebagai dosen yang cemerlang. “Pak Fajrul itu double master dari Inggris dua-duanya.”

Sebagai pakar hukum tata negara (HTN), lanjur Refly, Fajrul dapat dikategorikan sebagai yang terdepan setelah generasi Prof Harun al Rasyid, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Prof Mahfud MD. “Secara akademik, beliau itu ‘secara formal’ tidak doktor tetapi kemampuannya jauh di atas kita-kita semua.”

Sementara, Denny Indrayana menyebut Fajrul sebagai ahli HTN yang paling kuat dasar-dasar teorinya. Fakultas Hukum UGM, lanjut Denny, akan merasa sangat kehilangan atas kepergian Fajrul Falaakh karena saat ini belum ada figur yang sekaliber suami dari Ratih Hardjono ini.

“Kalau beliau bicara, teman-teman Fisipol UGM hormat semua karena penguasaannya sangat dalam. Ini orang yang luar biasa,” puji Denny yang kini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM.

Turut hadir di rumah duka, Sosiolog Thamrin Amal Tomagola mengaku awalnya dirinya tidak terlalu kenal dengan Fajrul. Thamrin lebih dekat dengan istri Fajrul, Ratih Hardjono. Bersama-sama Ratih, Thamrin mendirikan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi. Melalui Ratih lah, Thamrin akhirnya mulai mengenal lebih jauh sosok Fajrul.

“Terakhir saya ketemu Fajrul itu di UGM, acara Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dan yang paling terakhir itu ketika judicial review Perppu MK, UU No 4 Tahun 2014,” kenang Thamrin.

Begitu mengenal Fajrul, Thamrin mulai mengikuti tulisan-tulisan Fajrul yang dipublikasikan di media massa nasional. Dari situ, Thamrin berkesimpulan, Fajrul memiliki pemikiran yang bernas. Pemikiran-pemikiran Fajrul yang dituangkan dalam tulisan, lanjut dia, mampu meletakkan hukum tata negara sebagaimana mestinya.

“Tidak banyak orang seperti itu yang bisa melihat secara pas duduk perkaranya. Bangsa ini sebenarnya masih butuh pikiran-pikiran bernas tentang hukum tata negara, khususnya terkait kedudukan dan relasi antar lembaga negara.”
Tags:

Berita Terkait