Aturan Pembebasan Bersyarat Perlu Diperketat dalam RKUHAP
Berita

Aturan Pembebasan Bersyarat Perlu Diperketat dalam RKUHAP

Agar tidak mudah memberikan pembebasan bersyarat terhadap napi tindak pidana extraordinary crime.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Aturan Pembebasan Bersyarat Perlu Diperketat dalam RKUHAP
Hukumonline
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Akhiar Salmi, mengusulkan pembebasan bersyarat diberikan berdasarkan tindak pidana. Selain telah menjalani dua pertiga dari masa hukuman, perlu pemilahan pidana apa saja yang dapat diberikan pembebasan bersyarat.

“Perlu nanti diatur di dalam RKUHAP pembebasan bersyarat. Dalam pidana apa saja yang dapat diberikan pembebasan bersyarat,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (11/2).

Pandangan Akhiar berangkat dari pembebasan bersyarat yang diberikan pemerintah Indonesia terhadap terpidana 20 tahun dalam kasus kepemilikan ganja 4 Kilogram, yakni Schapelle Leigh Corby. Menurutnya, terpidana yang mendapat pembebasan bersyarat tidak boleh diberikan kepada pelaku kejahatan seperti tindak pidana narkoba, korupsi, dan terorisme.

Akhiar berpandangan, jenis kejahatan luar biasa itu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Narkoba misalnya, tidak hanya masa depan pengguna, tetapi berdampak pada keluarga dan merusak kehidupan masyarakat. Atas dasar itu, Akhiar berharap agar hak asasi manusia tidak dijadikan alasan justifikasi pemberian grasi kepada pelaku kejahatan narkoba.

“Narkoba itu dampaknya paling runyam,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah dan DPR dalam melakukan pembahasan RKUHAP dapat memasukan klausul pemberian pembebasan bersyarat berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan dan telah menjalani dua pertiga masa hukuman.

“Saya tidak setuju pembebaasan bersyarat diberikan kepada semua tindak pidana,” katanya.

Anggota Panja RKUHAP Harry Witjaksono mengatakan, persoalan pembebasan bersyarat menjadi ranah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Soalnya, Lapas sebagai pihak yang melakukan pembinaan terhadap narapidana.

Ia berpandangan, seorang narapidana jika berkelakuan baik dan telah menjalani dua pertiga masa hukuman, bukan tidak mungkin berhak mendapat pengurangan hukuman, bahkan pembebasan bersyarat. Itu pun dengan berbagai catatan dan pertimbangan terhadap narapidana.

“Bukankah memenjarakan orang itu menjadi beban negara,” ujarnya melalui pesan pendek kepada hukumonline.

Namun, Harry berpendapat pengaturan pembebasan bersyarat ada baiknya dimasukan dalam RKUHAP meski kewenangan pembinaan narapidana tetap berada di Lapas. Menurutnya, aturan pembebasan bersyarat perlu diperketat dengan memasukkan klausul tersebut dalam RKUHAP agar pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana tidak mudah diberikan begitu saja oleh pemerintah.

“Yang penting harus jelas alasan dan syarat-syaratnya, terutama untuk tindak pidana tertentu termasuk extraordinary crime,” ujar anggota Komisi III ini.

Politisi Partai Demokrat itu lebih jauh berpandangan, kalaupun pemberian pembebasan bersyarat tidak diberikan kepada narapidana, tindak pidana extraordinary crime perlu diubah politik hukum. Namun, Harry berpandangan khusus narapidana korupsi lebih tepat diberikan hukuman kerja kasar atau kerja sosial dan penjara.

“Untuk korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum ancamannya harus diperberat. Misal polisi, jaksa, dan hakim. Kalau pengguna narkoba sebaiknya disembuhkan di RSKO. Kalau teroris ini yang agak susah karena menyangkur deradikalisasi dan menyangkut ideologi atau keyakinan, jadi tetap dipenjara,” ujarnya.

Anggota Panja RKUHAP lainnya Taslim mengamini pandangan Akhiar dan Harry. Menurutnya, aturan pengetatan pembebasan bersyarat mesti tertuang dalam RKUHAP. Aturan itu nantinya menjadi payung hukum agar tidak gampang memberikan pembebasan bersyarat.

“Makanya kita harus memperkuat dengan peraturan perundangan. Saya kira memang harus diatur dalam RKUHAP. Salah satunya pembebasan bersyarat itu harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak segampang itu saja orang dibebaskan,” ujarnya.

Taslim mengatakan bahwa RKUHAP bersifat umum. Untuk itu, diperlukan aturan turunan. Khusus tindak pidana korupsi, misalnya, pemerintah telah menerbitkan PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Sekarang bagaimana pemerintah melihat ini narkoba dipadang sama tidak dengan koruptor. Kalau dipandang sama yah lakukan saja, ini tergantung niat baik pemerintah melihat kondisi bangsa ini,” kata politisi PAN itu.
Tags:

Berita Terkait