Tentang Memilih Wakil Tuhan
Kolom

Tentang Memilih Wakil Tuhan

Mekanisme yang digunakan di Indonesia, dengan ‘pengusulan’, ‘persetujuan’, dan ‘pengangkatan’, sedikit banyak memang mirip dengan mekanisme pengangkatan hakim agung pada Supreme Court di AS.

Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Masalah pengangkatan hakim agung kembali menyeruak ke permukaan beberapa waktu belakangan ini. Kali ini, Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 dipercaya sebagai pemicunya. Putusan tersebut telah mengubah beberapa ketentuan di dalam Pasal 8 dan Pasal 18 UU Komisi Yudisial (UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011), dengan sedemikian rupa, sehingga harus dipahami, ringkasnya: (1) kewenangan DPR harus diartikan sebagai sekadar hanya kewenangan untuk memberikan persetujuan saja (jadi bukan memilih); dan (2) KY hanya akan mengajukan 1 (jadi bukan 3) nama calon untuk 1 lowongan hakim agung.

Putusan inilah yang kemudian juga mengundang tanda tanya terkait bagaimana persetujuan itu seharusnya diberikan. Atau, dengan kata lain, atas dasar apa DPR seharusnya melandasi keputusannya untuk setuju, atau menolak, calon hakim agung (CHA) yang diusulkan oleh KY.

Pertanyaan di atas belum sepenuhnya terjawab, ketika dalam praktiknya, DPR beberapa waktu lalu menolak 3 CHA yang diusulkan oleh KY. Alasan para anggota DPR yang mengemuka di media, setidak-tidaknya secara garis besarnya, didasarkan pada ketidakpercayaan mereka atas kualitas para CHA yang diusulkan oleh KY. Selain itu, DPR juga mempertanyakan mekanisme dan kriteria – Ketua Komisi III selalu menyebutnya sebagai ‘terminologi’, padahal mungkin maksudnya parameter atau ukuran – yang digunakan oleh KY dalam memilih CHA. Beberapa waktu ke depan ini, DPR dan KY akan menggelar rapat konsultasi antara perwakilan kedua lembaga, untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut lagi.

Sekadar untuk diketahui, jika diukur dari Putusan MK, tindakan DPR untuk mengadakan ‘fit and proper test’ itu jelas bertentangan dengan maksud aturan Konstitusi yang telah dikukuhkan oleh MK. Betul bahwa dalam komposisi 1:1 (1 calon untuk 1 lowongan), jadi bukan lagi 3:1 (3 calon (yang masih dapat dipilih) untuk 1 lowongan), DPR pada praktiknya sudah tidak mungkin lagi memilih. Namun, perlu diketahui, bahwa dalam pertimbangan MK, penggunaan “fit and proper test” (lagi) oleh DPR juga telah dinyatakan oleh MK dalam pertimbangannya tidak sesuai dengan maksud perancang Konstitusi.

Terkait hal ini, antara lain, MK menegaskan pendapat Agun Gunanjar Sudarsa yang dikutip dari naskah pembahasan Amandemen UUD 1945: “[…] Nah, sehingga dengan kata-kata ‘dengan persetujuan DPR’, DPR itu tidak lagi melakukan fit and proper test, DPR tidak lagi melakukan proses seleksi, tetapi DPR hanya memberikan persetujuan atau menolak sejumlah calon hakim yang diusulkan Komisi Yudisial. Kembali kami menekankan, agar kekuasaan kehakiman yang merdeka itu tidak terintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik.” (Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013, poin 3.15.8, hlm. 50)

Kalau pertimbangan MK itu yang dijadikan ukuran, maka tindakan DPR untuk tetap mengadakan ‘fit and proper test’ itu tadi, jelas tidak sesuai dengan maksud konstitusi. Namun, sebagaimana dapat kita saksikan bersama, Komisi Hukum DPR toh tetap melakukannya. Ini seharusnya yang menjadi catatan paling mendasar untuk rapat konsultasi dengan KY yang direncanakan dalam waktu dekat ini. Masihkah kita berangkat dari asumsi yang sama bahwa rujukan paling utama adalah konstitusi?
 
Fit
and Proper Test
Istilah ‘fit and proper test’ atau uji kelayakan dan kepatutan untuk CHA, memang tidak tertuang secara tersurat di dalam UUD 1945. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pengangkatan hakim agung sendiri dapat dilihat di dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 24A ayat (3). Menurut kedua pasal tersebut, ringkasnya, CHA diusulkan oleh KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Dengan demikian, terdapat tiga tahapan dalam proses tersebut, yaitu (1) ‘pengusulan’ oleh KY, (2) ‘persetujuan’ oleh DPR, dan (3) ‘penetapan’ oleh Presiden. Bagaimana persisnya mekanisme pelaksanaan masing-masing kewenangan tersebut?

Untuk menjawabnya, kita tentu perlu menengok kembali ke Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 yang dengan tegas telah mengatakan, bahwa ‘persetujuan’ itu seharusnya tidak dipahami sebagai kewenangan untuk memilih (satu dari beberapa nama), tetapi hanya kewenangan untuk memberikan persetujuan atau penolakan atas calon yang diusulkan. Namun, pertanyaan berikutnya, saya pikir ini yang menjadi poin kegusaran DPR: kalau tidak boleh menggunakan ‘fit and proper test’, lalu apa yang menjadi dasar untuk mengutarakan persetujuan atau penolakan mereka terhadap satu calon tertentu?
Terkait hal ini, memang masih dapat dipertanyakan, meskipun dalam pertimbangan MK yang meminjam pendapat Agun Gunanjar Sudarsa, bukan dalam bentuk ‘fit and proper test’ (lagi). Mengenai ‘fit and proper test’ ini, setidak-tidaknya telah dianggap terkandung dalam kewenangan ‘pengusulan’ KY, yaitu dengan memilih kandidat-kandidat yang hendak diusulkannya kepada DPR.

Kalau kita mau buka kembali naskah pembahasan Amandemen UUD 1945, pendapat MK mengenai ‘fit and proper test’ tersebut bukannya tidak berdasar. Selain satu pendapat salah satu perancangnya, pendapat yang ‘mengharamkan’ mekanisme pengujian tersebut di DPR dapat ditemui di beberapa bagian dokumen yang menyebutkan istilah tersebut. Di dalam Buku 6 Naskah Komprehensif yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, setidak-tidaknya saya temukan pendapat-pendapat (beserta alasan masing-masing), berikut ini:   

[…] Bicara fit and proper test ini kok, kalau yang saya di DPR sekian tahun ini, itu perploncoan itu, Pak. Jadi, ontgroening, perploncoan. Jadi rasanya tidak patut mereka itu menilai orang gitu yah, padahal yang dihitung itu adalah akhlaknya, profesinya. Sebesar apa kemampuan DPR untuk mengukur atau menilai profesi seseorang. Apa ada ahlinya di situ, saya tidak yakin.” (Sutjipto, F-PDIP, hlm. 665-666)

 “[…] Karena Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang, jadi tidak perlu tambah birokrasi lagi. Kita sudah menerima kehadiran satu komisi yang bernama Komisi Yudisial untuk rekrutmen Hakim Agung, maka tidak perlu lagi Hakim Agung memerlukan fit and proper test dari DPR.” (Daniel Wakkary, F-UG, hlm. 676)

Maka kami mengusulkan supaya ini memang di-filter oleh suatu komisi yang sifatnya, komisinya permanen, tetapi keanggotaannya itu ad hoc tiap kali. Tetapi unsur-unsurnya jelas, unsur dari para senior dari lingkungan praktisi hukum, law association, misalnya, atau pensiunan hakim, atau pensiunan pengacara, begitu, dan dari lingkungan akademisi, para pengajar-pengajar ilmu hukum yang terkemuka di wilayah masing-masing. Ada yang ingin menambahkan waktu itu dan tokoh-tokoh masyarakat terkemuka sebagai unsur yang ketiga. Itu juga bisa dan merekalah yang melakukan fit and proper test, supaya tidak lagi fit and proper test itu dilakukan dalam suatu nuansa politik. Untuk hakim kiranya janganlah dan proses-proses penegakan hukum, janganlah proses ini ditimpali oleh proses-proses politik.” (Jakob Tobing, F-PDIP, hlm. 692)

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, jelas bahwa ‘fit and proper test’ tidak dimaksudkan menjadi bagian ‘persetujuan’ DPR, melainkan merupakan bagian dari ‘pengusulan’ KY. Permasalahannya, seperti praktik yang kita lihat di Indonesia baru-baru ini, DPR sepertinya tengah menunjukkan kekuasaan untuk mendesak KY, yaitu dengan mempertanyakan mekanisme dan kriteria yang digunakan KY dalam menjalankan kewenangannya.
Ironisnya, KY (yang telah menjalankan kewenangannya sesuai konstitusi) dalam kasus terakhir ini, sebenarnya merupakan pihak yang justru semestinya berhak untuk mempertanyakan apa justifikasi DPR untuk menolak ketiga calon yang diusulkannya, sementara ‘fit and proper test’ (yang dijadikan alasan DPR untuk menunjukkan ‘kualitas’ CHA terkait) itu sendiri di dalam pertimbangan MK telah dianggap tidak sesuai dengan maksud perancang Amandemen UUD 1945.

Kalaupun kewenangan memberikan persetujuan ataupun penolakan ini, bagaimanapun juga, harus dianggap sebagai suatu ‘kewenangan mutlak’ DPR yang didasarkan pada istilah ‘persetujuan’ di dalam konstitusi, tentu itu hal lain yang tak bisa didasarkan pada hasil ‘fit and proper test’ yang juga telah disebutkan di dalam naskah pembahasan Konstitusi.

Di titik ini, benar pendapat yang pernah diutarakan Ketua KY, bahwa satu-satunya bahan pijakan yang dapat digunakan oleh DPR (di luar masalah selera para anggota yang sifatnya tentu subyektif) adalah hasil ‘fit and proper test’ yang sebelumnya telah diselenggarakan oleh KY. Kecuali terjadi amandemen konstitusi yang mengubah tatanan yang telah disepakati sebelumnya, atau tafsir lain dari MK, tentu semua lembaga negara, tanpa terkecuali, terikat pada ketentuan ini.

Sekilas Perbandingan
Permasalahan mengangkat hakim agung, di belahan manapun dunia, memang dapat mengundang tarik ulur kekuasaan yang rumit. Di bawah ini, akan coba saya uraikan beberapa ilustrasi dari pengangkatan seperti itu, serta hubungannya dengan konteks di Indonesia.

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa mekanisme yang digunakan di Indonesia, dengan ‘pengusulan’, ‘persetujuan’, dan ‘pengangkatan’, sedikit banyak memang mirip dengan mekanisme pengangkatan hakim agung pada Supreme Court di Amerika Serikat (AS). Di negeri tersebut, hakim agung (yang notabene hanya 9 saja jumlahnya) akan diusulkan (dinominasikan) oleh Presiden, begitu ada yang pensiun. Usulan Presiden ini diperoleh melalui serangkaian proses seleksi yang sangat ketat dan teliti, meskipun tentu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden, sebelum kemudian diajukan kepada Senat (dalam sistem bikameral AS mungkin lebih mirip seperti DPD, bukan DPR, meskipun tak dapat disamakan).

Kandidat hakim agung yang diusulkan kepada Senat, pada prinsipnya hanya perlu konfirmasi dari lembaga tersebut saja, dalam arti disetujui, atau tidak. Untuk mendasarkan pendapat masing-masing anggota (meskipun afiliasi politik tentu besar pengaruhnya), kandidat yang diusulkan oleh Presiden akan ‘didengar’ dulu sebelumnya, melalui apa yang disebut sebagai Komisi Kehakiman Senat (Senate Judiciary Committee). Ditilik dari sudut pandang politik, ‘dengar pendapat’ ini juga bagian dari justifikasi Senat kepada Presiden sebagai pihak yang mengusulkan.

Pada prinsipnya, Komisi Kehakiman melakukan ‘dengar pendapat’ dengan kandidat hakim agung yang diusulkan oleh Presiden, dalam tiga tahapan, yaitu investigasi, dengar pendapat publik, dan pemberian kesimpulan. Dengan catatan, dalam tahapan pertama dan kedua tersebut, tak tertutup kemungkinan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat dan profesi secara terbuka, dalam rangka menggali segala informasi terkait kandidat tersebut, termasuk untuk memberikan dukungan/penolakan mereka. Pada tahap terakhir, Komisi akan menyampaikan rekomendasinya kepada seluruh anggota Senat untuk menyetujui atau menolak.

Senat kemudian membuka perdebatan atas rekomendasi Komisi Kehakiman, untuk mengambil kesimpulan. Meskipun ideologi, pandangan hidup, filsafat hukum, visi politik, atau pendapat kandidat tentang kasus-kasus hukum kontroversial yang digali melalui ‘dengar pendapat’ tadi bisa jadi merupakan bahan pertimbangan utama, pada kenyataannya juga terdapatfaktor-faktor lain yang ikutdipertimbangkan oleh masing-masing anggota Senat, seperti pendapat anggota lain yang berpengaruh, pendapat konstituennya, atau bahkan pendapat orang-orang dekatnya sendiri (Denis Steven Rutkus, 2005). Dalam hal ini, bukan parameter hasil ‘dengar pendapat’ Komisi Kehakiman, tetapi justru pengambilan keputusan terakhir dari Senat sendirilah yang sampai sekarang sering menimbulkan tanda tanya.

Bagaimanapun, tak semua kandidat yang diusulkan oleh Presiden, pada akhirnya juga mendapatkan persetujuan dari Senat. Dalam catatan Rutkus, terdapat 154 usulan hakim agung pernah diterima oleh Senat, di mana 34 di antaranya gagal mendapatkan persetujuan, serta 11 dari 34 kandidat itu ditolak.

Itu tadi sedikit gambaran di AS yang sedikit banyak mengenal beberapa tahapan yang pengaturannya mirip dengan di Indonesia, meskipun tentu banyak hal yang berbeda. Dan perlu diberikan catatan pula, dalam praktiknya, Presiden sendiri akan aktif mengawal kandidat yang diusulkannya. Artinya, tidak tertutup kemungkinan, sedari awal Presiden akan mengadakan pendekatan kepada para Senator (tentu yang separtai dengannya), dalam rangka meyakinkan mereka akan pilihan yang diambilnya.

Selain mekanisme di AS tersebut di atas, sebenarnya masih banyak variasi konsep pemilihan hakim agung lainnya di dunia ini. Di Belanda, misalnya, pertarungan politiknyatidak setajamdi AS tadi, dengan mekanisme pengusulan enam kandidat oleh Hoge Raad, persetujuan oleh parlemen untuk tigakandidat di antaranya, serta terakhir, penetapan 1 kandidat terpilih oleh pemerintah. Persetujuan oleh parlemen dilakukan dengan memilih nama-nama kandidat melalui pemungutan suara secara rahasia, serta para anggota parlemen sebelumnya dipersilakan untuk mempelajari berkas-berkas terkait kualifikasi dan rekam jejak para kandidat yang diusulkan. Daftar usulan dari Hoge Raad ini seperti mengandung ‘kode’ yang kemudian selalu diikuti lembaga lainnya, yaitu dipilihnya CHA yang ditempatkan teratas. Setidak-tidaknya, hingga beberapa tahun lalu, ketika terdapat anggota parlemen yang juga mulai secara terbuka mempermasalahkan (apa yang dianggapnya sebagai) visi politik salah satu kandidat yang diajukan dan menolak kandidat tersebut.

Pada tahun 2012 yang lalu, pengangkatan hakim agung ini juga menjadi isu yang diangkat dalam pertemuan para Ketua MA negara-negara Uni Eropa. Ketika itu, perwakilan kekuasaan kehakiman dari berbagai negara Eropa diminta menjawab beberapa pertanyaan terkait mekanisme dan kriteria pengangkatan hakim agung.

Karena keterbatasan tempat, saya tidak akan membahasnya satu persatu di sini, tetapi menarik untuk melihat salah satu kesimpulan di situ, yaitu:
Very often, a special election committee or the council of the judiciary draws up a list of candidates. In most countries, the proposal is binding, or – if it is not formally binding – it is at least expected to be followed. It is quite uncommon that the election committee or the judicial council is restricted to an advisory role.” [Sangat sering, suatu komisi pemilihan khusus, atau dewan kehakiman, menyusun daftar yang berisi kandidat-kandidat. Di sebagian besar negara-negara (tersebut), usulan ini bersifat mengikat, atau – jika secara formal tidak mengikat – ini setidak-tidaknya diharapkan untuk diikuti. Tidak pada umumnya peran komisi pemilihan, atau dewan kehakiman, dibatasi hanya sebagai pemberi saran saja.]

Penutup
Tulisan ini sebenarnya masih dapat dirinci lebih lanjut dan terlalu sumir untuk disimpulkan di sini. Namun, saya harap cukup memberi gambaran bagaimana sebaiknya menyikapi permasalahan pengangkatan hakim agung di Indonesia. Beberapa hal yang mungkin dapat diambil pelajaran, selain perintah konstitusi sendiri yang telah jelas, posisi KY dalam menjaga tetap objektifnya seleksi orang-orang pilihan ini sangat krusial.

Namun, berbeda dengan situasi di AS, di mana Komisi Kehakiman Senat merupakan bagian dari Senat sendiri, berdasarkan desain konstitusi di Indonesia, KY merupakan lembaga yang mandiri dan terpisah dari DPR. Ini tentu dapat memicu masalah politik di antara keduanya. Jika kita cermati lebih lanjut naskah pembahasan Amandemen UUD 1945, meski KY disebutkan menempati posisi pihak yang melakukan ‘pengusulan’ kandidat (sebagaimana Presiden di AS), tetapi lembaga ini ternyata didesain juga sebagai lembaga yang melakukan seleksi sebagai pengambilan keputusan dalam ‘persetujuan’ (sebagaimana Komisi Kehakiman Senat di AS).

Peran inilah yang baru saja dikukuhkan dalam Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013, serta memicu kembali perdebatan mengenai hal ini. Kalau kemudian timbul pertanyaan apa yang dapat dijadikan dasar persetujuan DPR, maka jawabannya adalah rekomendasi KY melalui mekanisme seleksi yang dilakukannya. Pengambilan keputusannya sendiri, memang tetap ada beberapa pilihan, di antaranya,melalui debat terbuka, ataudengan voting tertutup, seperti yang juga dilakukan oleh DPR ketika menolak tigaCHA beberapa waktu yang lalu. Pertanyannya kemudian, apa pertimbangan sebenarnya yang digunakan oleh masing-masing anggota dalam menentukan pilihannya?

Seperti kita ketahui, bahkan dengan adanya praktik pembahasan terbuka seperti di AS sekalipun, ini ternyata kembali ke pertimbangan masing-masing Senator terkait.Bagaimanapun juga, kalau KY memang telah melaksanakan kewenangannya berdasar konstitusi, serta melakukan ‘fit and proper test’ sesuai mekanisme yang telah diatur undang-undang dan melampirkan hasil seleksinya, maka masalah ketidakjelasan parameter dalam kasus pemilihan yang lalu, jelas bukan di KY. Karena, hasil ‘fit and proper test’itu bukannya tak dapat digunakan juga oleh anggota dewan, entah dengan kesimpulan yang bisa saja berbeda dengan kesimpulan KY sendiri.

*) Peneliti hukum independen, penerjemah, dan pemerhati dunia peradilan Indonesia
Tags: