Hakim Agung Dukung In Dubio Pro Natura
Berita

Hakim Agung Dukung In Dubio Pro Natura

Putusan kasus Mandalawangi bisa dijadikan contoh bagus untuk penegakan hukum lingkungan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Dukung <i>In Dubio Pro Natura</i>
Hukumonline
Konsep perlindungan lingkungan bukan semata-mata untuk manusia, tetapi juga makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Pengelolaan yang berorientasi hanya pada manusia dan bermotif ekonomi ternyata sangat merusak lingkungan hidup. Bahkan cenderung mengabaikan hak-hak makhluk hidup lain.

Pandangan ini mengemuka dari sejumlah narasumber dalam diskusi ‘Demokrasi Lingkungan’ yang digelar Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Jakarta, Kamis (13/2) lalu. Hakim Agung Takdir Rahmadi banyak menyinggung tentang penghargaan manusia terhadap hak-hak makhluk hidup lain. “Ada legal right for natural objects,” ujarnya.

Guru Besar yang menekuni hukum lingkungan itu mendukung dan mendorong penerapan doktrin in dubio pro natura. Jika dalam menangani suatu perkara, hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya. Dalam hukum pidana dikenal doktrin in dubio pro reo, yang berarti jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan hukuman yang meringankan terdakwa.

Doktrin ini terutama digunakan berkaitan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle)yang dirumuskan dalam Dekralasi Rio. Pembuktian kerusakan lingkungan harus merujuk pada mekanisme projustisia. Tetapi jika proses pembuktian ilmiah tidak bisa atau terlambat, maka hakim harus mendahulukan kepentingan perlindungan lingkungan. Bagi Takdir, langkah-langkah perlindungan lingkungan tetap perlu dilakukan meskipun terdapat ketidakpastian ilmiah tentang dampak negatif suatu rencana kegiatan.

Meskipun secara ekonomi ada keuntungan besar yang diperoleh dengan membiarkan kerusakan, alasan itu tak dapat dibenarkan. “Alasan ekonomi tidak boleh dijadikan dasar pandangan bahwa perlindungan lingkungan tidak perlu,” kata Takdir dalam diskusi tersebut. “Dalam kegiatan-kegiatan yang sangat beresiko, perlindungan lingkungan tetap harus dikedepankan,” sambung mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu.

Arie Trouwborst, pengajar Tilburg University Belanda, dalam artikelnya di Erasmus Law Review, volumen 02 Tahun 2009, memberi makna doktrin in dubio pro natura itu sebagai ‘giving the benefit of the doubt to the environment”.

Putusan Mandalawangi
Salah satu contoh putusan menarik dalam hal hakim mengedepankan perlindungan lingkungan adalah kasus Mandalawangi. Sejumlah korban longsor bukit Mandalawangi, Garut, menggugat pemerintah, termasuk Perum Perhutani. Para penggugat menilai para tergugat tidak melaksanakan kewajiban hukum sehingga tanah longsor dan menyebabkan kerugian materiil dan moril penggugat.

Melalui putusan tertanggal 4 September 2003, PN Bandung mengabulkan gugatan penggugat. Putusan itu kemudian dikuatkan di tingkat banding. Dalam putusan kasasi No. 1794 K/Pdt/2004, Mahkamah Agung menolak argumentasi yang dibangun para tergugat. Hakim agung menyatakan penggunaan precautionary principle tidak melanggar hukum. Hakim dapat menggunakan ketentuan hukum internasional jika sudah dianggap sebagai ius cogen (diakui bangsa-bangsa beradab-red). Karena itu, para tergugat berkewajiban memberikan ganti rugi kepada masyarakat.

Menariknya, putusan ini dijatuhkan jauh sebelum UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terbit. Setelah UU ini lahir, konsep perlindungan lingkungan semakin mendapat tempat. Cuma, Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagiyo, berharap UU PPLH bisa dijalankan dengan baik. “Jangan sampai dirumahkacakan dan menjadi tidak berkutik,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait