Menkeu Blokir Anggaran Bukan Persoalan Konstitusionalitas
Berita

Menkeu Blokir Anggaran Bukan Persoalan Konstitusionalitas

PMK yang mengubah syarat-syarat pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran bukanlah yurisdiksi MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Menkeu Blokir Anggaran Bukan Persoalan Konstitusionalitas
Hukumonline
Pengesahan dokumen anggaran termasuk perbintangan atau pemblokiran adalah kewenangan presiden yang dijalankan Menteri Keuangan (Menkeu) seperti diatur Pasal 8 huruf c UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) hurub b UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Oleh sebab itu, tidak perlu lagi dipersoalkan lagi konstitusionalitasnya karena pengelolaan keuangan negara bagian dari kekuasaan pemerintahan.

“Kewenangan Menkeu itu hanyalah menjalankan kuasa dari Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara seperti dijamin Pasal 17 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,” kata Refly Harun saat dimintai keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara di ruang sidang MK, Rabu (19/2).

Menurut dia pengesahan dokumen anggaran termasuk pemblokiran atau pembintangan anggaran dibutuhkan sebagai penerapan prinsip good governance oleh presiden. Sebab, pada akhirnya Presidenlah yang harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBN kepada DPR bukan masing-masing kementerian atau lembaga terkait.

“Kalau DPR hanya mengawasi pelaksanaan UU APBN oleh Presiden, meski dalam praktiknya DPR langsung berhubungan dengan kementerian/lembaga yang menjalankan kekuasaan presiden termasuk kekuasaan pengelolaan keuangan negara,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan oleh pihak pemerintah ini.

Hal senada disampaikan ahli pemerintah lainnya, Maruarar Siahaan. Mantan Hakim Konstitusi ini mengakui kedua pasal yang dimohonkan pengujian itu khususnya frasa “mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran” tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan itu. Namun, kewenangan Menkeu sebagai kuasa Presiden berwenang menjalankan kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian kekuasaan pemerintah.

“Menkeu dapat menafsirkan dan merumuskan aturan pelaksanaan berdasarkan UU APBN, asas-asas umum pemerintahan atau pengelolaan keuangan negara yang baik,” kata Maruarar.

Dia mengatakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang didalamnya mengatur sistem pemblokiran yang sudah dipraktikkan selama ini konstitusional sepanjang PMK itu diamanatkan oleh peraturan yang lebih tinggi. Menurutnya, syarat-syarat yang disebutkan dalam PMK yang dipersoalkan pemohon merupakan penjabaran asas-asas pengelolaan keuangan yang baik, akuntabilitas, profesionalitas yang dikenal secara universal.

“Ini untuk mencegah kekurangcermatan, rencana buruk, pemborosan termasuk penyalahgunaan. Jadi norma PMK itu kontitusional dan justru penjabaran konstitusi Pasal 23 ayat (1) UUD 1945,” katanya.

Dia mengakui tidak tertutup kemungkinan ada persoalan koordinasi di internal pemerintah sendiri, sehingga sebenarnya persoalan ini bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian. Perubahan syarat pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran pun tidak selalu dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Kalaupun perubahan PMK tersebut dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, pengujian PMK bukanlah yurisdiksi MK (tetapi MA),” tegasnya.

Uji materi pengujian Pasal 8 huruf c UU Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara ini dimohonkan dua akademisi, yaitu Anton Ali Abbas, dosen kajian terorisme di  Universitas Pertahanan dan Aan Eko Widiarto, dosen ilmu hukum di Universitas Brawijaya.

Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya baik secara potensial maupun faktual, akibat berlakunya kedua pasal tersebut.Menurut pemohon, kewenangan yang dimiliki Menkeu untuk mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran itu bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Pemohon menilai saat anggaran telah disetujui DPR, kewenangan Menteri Keuangan untuk mengesahkan dokumen seyogyannya tidak diperlukan lagi.
Tags: