Perlindungan Hukum PRT Belum Maksimal
Berita

Perlindungan Hukum PRT Belum Maksimal

Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 salah satu langkah penting.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Perlindungan Hukum PRT Belum Maksimal
Hukumonline
Jaringan Advokasi Kerja Layak – Pembantu Rumah Tangga (Jala-PRT) meminta aparat penegak hukum bertindak adil dan melindungi pembantu atau pekerja rumah tangga yang menjadi korban penyiksaan. Sebab, dalam banyak kasus, posisi PRT lemah dari sisi akses, pengetahuan, dan perlindungan hukum. Kasus terakhir yang menyedot perhatian masyarakat adalah dugaan perlakuan tidak manusiawi yang dialami belasan penatalaksana rumah tangga di Bogor, Jawa Barat. Kasus ini terjadi di rumah seorang pensiunan jenderal polisi.  

Peneliti Jala-PRT, Akbar Tanjung, mengatakan penegakan hukum yang adil perlu dilakukan meskipun korbannya ‘hanya’ PRT. Jala-PRT dan LBH Jakarta mendesak Kapolda Jawa Barat dan Kapolri menjamin proses hukum berjalan dengan adil mengingat para korban bekerja di rumah seorang pensiunan bintang satu kepolisian.

Kasus di Bogor, kata Akbar, bukan satu-satunya kasus sejenis yang terungkap ke permukaan. Jala-PRT bahkan sudah pernah melakukan investigasi pada 2012 silam di tempat yang sama. Cuma, tak ada tindak lanjut dari kepolisian hingga kasus serupa terulang lagi dua tahun kemudian.

Sejumlah lembaga seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sudah mendatangi Polres Bogor. Jala-PRT juga sudah menemui Kapolres Bogor meminta agar proses hukum berjalan dengan adil, penyidik mengedepankan profesionalisme dan transparansi. “Kapolres Bogor berjanji akan mendalami dugaan itu, nanti pasal pidana yang pas dengan peristiwa akan dipakai,” kata Akbar dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (24/2) kemarin.

Menurut Akbar, sangat penting untuk menekankan transparansi dan profesionalitas aparat kepolisian dalam menangani kasus itu. Sebab, dari catatan kasus yang dihimpun JALA-PRT, LBH Jakarta dan LBH Apik Jakarta terdapat 65 persen proses hukum dalam kasus PRT mandek di kepolisian. Baginya hal itu menunjukan posisi PRT sangat rentan karena sulit mengakses bantuan dan informasi tentang hukum. “Polisi menjadi bagian impunitas dalam kasus kekerasan PRT,” urainya.

Rentannya kondisi kerja itu menurut Akbar tak lepas dari minimnya regulasi yang melindungi PRT. Padahal sejak tujuh tahun lalu JALA-PRT dan koalisi sudah mengajukan draft RUU Perlindungan PRT ke DPR. Tapi sampai sekarang draft itu belum pernah dibahas. “Sejak tahun 2010 draft itu masuk prioritas prolegnas. Itu harusnya diselesaikan DPR dalam setahun, tapi sampai tahun lalu hanya masuk prolegnas,” ucapnya.

Pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, menyebut peristiwa itu menunjukan lemahnya perlindungan pemerintah terhadap PRT. Guna melindungi PRT, Nelson mengusulkan kepada pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT. “PRT itu adalah pekerja walau lokasi kerjanya di domestik rumah tangga,” tukasnya.

Peneliti JALA-PRT lainnya, Aida Milasari, menjelaskan dari hasil penelitian yang dilakukan organisasi masyarakat sipil yang membidangi isu PRT pada 2012, ditemukan 40 persen PRT terjebak dalam situasi bahaya. Seperti mendapat kekerasan fisik, ekonomi, psikologis dan seksual serta upah tidak dibayar. Ironisnya, tindakan itu tidak hanya dilakukan majikan, tapi juga orang terdekat yang ada di rumah.

Minimnya keterampilan, pengetahuan dan pendidikan PRT menurut Aida ikut memicu tindak kekerasan yang terjadi. Misalnya, PRT tidak mengerti bagaimana menyetrika baju majikan berbahan sutra sehingga membuat baju itu rusak. Ujungnya, majikan menimpakan kesalahan itu kepada PRT dengan cara tidak memberi upah selama beberapa bulan.

Aida menjelaskan salah satu penyebab kesejahteraan PRT minim adalah biaya yang dikenakan penyalur PRT kepada majikan. Seperti biaya transfer PRT kepada majikan dan transportasi. Parahnya, majikan menimpakan biaya itu kepada PRT yang bersangkutan dengan cara memotong upah. Untuk membenahi kondisi kerja PRT agar layak, dibutuhkan regulasi yang memberikan perlindungan. Menurutnya hal itu dapat dilakukan lewat ratifikasi Konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT. “Kami menyambut baik Kemenakertrans untuk meratifikasi Konvensi ILO No.189,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait