Mekanisme Pemilihan CHK Diusulkan Diubah
Berita

Mekanisme Pemilihan CHK Diusulkan Diubah

DPR semestinya tak perlu membuka pendaftaran untuk mencari CHK

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
(Dari kiri) calon Hakim MK Dimyati Natakusumah, didampingi Wakil Ketua Komisi III Almuzzamil Yusuf, Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin, dalam diskusi 'Dialektika Demokrasi', Kamis (27/2). Foto: RES
(Dari kiri) calon Hakim MK Dimyati Natakusumah, didampingi Wakil Ketua Komisi III Almuzzamil Yusuf, Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin, dalam diskusi 'Dialektika Demokrasi', Kamis (27/2). Foto: RES
Pemilihan calon hakim kontitusi (CHK) yang dilakukan oleh DPR menggunakan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan, mulai dari pembuatan makalah hingga tahap uji wawancara oleh tim pakar. Mekanisme itu dikritik oleh Pakar Hukum Tata Negara Putra Irman Sidin dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (27/2).

“Ke depan mekanisme itu tidak perlu ada tanya jawab. Biarlah calon berorasi di paripurna, kemudian DPR menilai. Jadi lebih terhormat dan negarawan,” ujarnya.

Menurut Irman, DPR semestinya tak perlu membuka pendaftaran untuk mencari CHK. Soalnya, sosok CHK sudah pasti seorang negawaran serta memiliki pengetahuan luas seputar hukum ketatanegaraan. Seorang hakim kontitusi, menurut Irman, tak lagi memikirkan popularitas yang berbasis pada elektabilitas. Kriteria itulah yang dinilai Irman layak menjadi hakim konstitusi.

Sayangnya, pasca era reformasi bergulir belum ditemukan mekanisme penentuan pejabat publik yang tepat. Pasalnya, arus demokrasi terlampau besar dalam penentuan pejabat publik. Berbeda halnya dalam penentuan Kapolri dan Panglima TNI, DPR cukup menyambangi kediaman calon dan memberi persetujuan. Menurutnya, cara itu jauh lebih negarawan.

“Tapi anomali, DPR mencari orang mendaftar, disuruh bikin makalah, dan ditanya-tanya. Tapi ketika pemilihan Kapolri dan Panglima TNI, DPR mendatangi calon. Ini harus dicontoh pemilihannya,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Putra Unggul itu lebih jauh berpendapat, proses pemilihan calon hakim konstitusi semestinya lebih berwibawa. Dikatakan Irman, seharusnya DPR dapat menjaring sejumlah nama yang dinilai memiliki sifat dan karakter kenegarawanan serta memiliki keilmuan hukum tata negara yang mumpuni.

Irman menyadari DPR berada pada posisi tidak percaya diri. Hal itu bisa dilihat dari adanya tim pakar yang bertugas memberikan rekomendasi kepada DPR untuk memilih sejumlah nama. “Kalau cara seperti ini anomali. Ke depan, proses pemilihan pejabat publik perlu dipikirkan lagi. Pemilihan Kapolri dan Panglima TNI itu kredibel,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III Al Muzzammil Yusuf mengamini pandangan Irman. Menurutnya, rekrutmen pejabat publik mesti dievaluasi. Saat Perppu tentang MK telah disetujui DPR, Muzzammil mengamini adanya panel ahli. Sejumlah nama telah disusun untuk menjadi panel ahli mulai BJ Habibie, Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dan dari unsur Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah.

“Itu upaya kita di tengah kasus Akil Mochtar. Tapi waktu mendesak menghadapi Pemilu. Tapi mekanisme  rekruitmen pejabat publik ke depan harus diperbaiki.” katanya.

Muzzammil menyayangkan Perppu tentang MK dibatalkan. Padahal, sudah ada keinginan Komisi III untuk melakukan uji terhadap sejumlah calon yang dinilai memiliki kriteria kenegarawanan. Namun apalah daya, sejak Perppu dibatalkan, Komisi III membuat terobosan dengan membentuk tim pakar yang tugasnya melakukan uji kelayakan terhadap CHK. Mekanisme tersebut terbuka luas bagi masyarakat dan media. 

“Nanti kita lihat bersama-sama biar masyarakat juga menilai,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menambahkan, jumlah CHK yang tersisa sebanyak 11 calon, setelah 1 calon mengundurkan diri. Soal kemungkinan adanya perbedaan penilaian tim pakar oleh Komisi III bukan tidak mungkin terjadi. Namun, hasil penilaian tim pakar menjadi rekomendasi yang akan dipertimbangkan dalam penentuan calon yang lolos untuk menempati dua kursi hakim konstitusi yang lowong.

“Tapi hak pilihan ada di kita (DPR),” ujarnya.

Ahmad Dimyati Natakusuma, yang juga satu-satunya CHK dari unsur DPR mengamini pandangan Irman. Menurutnya, seorang negarawan dalam pencarian hakim konstitusi tak perlu mendaftar. “Negarawan itu tidak usah mendaftar, iya juga ngapain saya mendaftar, tapi apa saya mampu menjadi wakil tuhan, wallahualam,” ujarnya.

Dimyati yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Baleg geram dengan Mahkamah Konstitusi yang kadang dalam putusan keluar dari yang diajukan uji materi. Menurutnya, seorang hakim konstitusi harus mengerti soal legislasi. “Saya masuk MK geregetan, saya di Baleg buat UU melalui pengkajian mendalam tapi diubah-ubah,” ujarnya.

Soal permasalahan hukum yang pernah dialaminya, Dimyati mengaku tak mempermasalahkan jika diangkat ke publik. Soal penetapan menjadi tersangka dahulu dinilai sudah selesai dan berkekuatan hukum tetap.

“Saya siap dikritik kalau tidak pantas kritik saja. Selama benar saya siap tampil. Tapi tidak sama dengan pak Akil Mochtar,” pungkas Dimyati yang duduk sebagai anggota Komisi II itu.
Tags:

Berita Terkait