Mualimin Abdi:
Sepuluh Tahun Mengawal Kepentingan Pemerintah di MK
Profil

Mualimin Abdi:
Sepuluh Tahun Mengawal Kepentingan Pemerintah di MK

Ikut menangani sekitar 670 perkara dalam sepuluh tahun terakhir. Telaten dan tidak gampang bosan berjam-jam di ruang sidang.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Mualimin Abdi saat wawancara dengan hukumonline. Foto: RES
Mualimin Abdi saat wawancara dengan hukumonline. Foto: RES
Bagi pihak yang sering bersidang dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK), tentu tak asing mendengar nama Mualimin Abdi. Ya, sejak awal MK berdiri, sosok Mualimin Abdi dikenal kerap mewakili pemerintah (presiden) dalam setiap pengujian undang-undang -yang prosesnya sudah memasuki sidang pleno- yang dipersoalkan warga negara. Bidang apapun undang-undang yang dimohonkan pengujian, Mualimin harus siap mengawal suara dan pandangan pemerintah di sidang MK.

Sebenarnya, sejak Maret 2012, Mualimin sudah dipromosikan sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkumham. Tetapi dalam praktiknya ia masih dipercaya mewakili Menteri Hukum dan HAM selaku kuasa permanen Presiden (pemerintah) dalam setiap pengujian undang-undang. Bahkan, saat ini dia juga dipercaya menjabat Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham menggantikan Wahiduddin Adam yang pensiun.

Keterlibatannya ke sidang-sidang MK tak lepas dari jabatan Mualimin sebagai Kasubdit Penyiapan dan Pembelaan Persidangan (2004). Dari situ posisinya naik menjadi Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM. Jabatan-jabatan itu dari tupoksinya jelas berkaitan dengan sidang-sidang yang harus dihadiri pemerintah. “Hingga diangkat Kabalitbang Kemenkumham sampai sekarang, saya masih dipercaya Menkumham untuk bersidang di MK,” tutur Mualimin saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (19/2).

Pengalaman, ketelatenan, dan tidak gampang bosan berjam-jam di ruang sidang membuat Mualimin menjadi pilihan. “Mungkin penilaian itu yang membuat pimpinan masih mempercayai saya untuk terus mengawal setiap pengujian undang-undang di MK dan uji materi di MA,” kata Doktor Ilmu Pemerintahan itu.

Setidaknya sejak tahun 2004 hingga kini sudah sekitar 670-an perkara pengujian undang-undang yang sudah ditangani pria kelahiran Brebes, 51 tahun silam ini. “Setiap pengujian undang-undang di MK saya pasti ikut terlibat di dalamnya. Kalau dihitung sampai sekarang sudah 10 tahun,” kata bapak satu anak ini.

Dia menceritakan pengalamannya selama mewakili pemerintah memberi materi tanggapan ketika sebuah undang-undang dipersoalkan warga negara. Kedudukan Kemenkumham sebagai koordinator ketika materi undang-undang yang digugat berhubungan dengan tupoksi kementerian/lembaga lain untuk menyiapkan bahan-bahan, termasuk sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN).

Misalnya, ketika UU Perpajakan dan UU Ketenagakerjaan, Kemenkumham pasti akan melibatkan Ditjen Pajak Kemenkeu dan Kemenakertrans dalam menyusun materi keterangan pemerintah. “Kondisi seperti ini, wajib hukumnya bagi saya hadir dalam persidangan untuk memberi arahan/tuntunan bagaimana memberi keterangan pemerintah yang baik,” katanya.

Meski begitu, lanjut Mualimin, tak semua penyusunan materi keterangan/tanggapan pemerintah melibatkan kementerian/lembaga lain. Adakalanya, Kemenkumham sendiri yang memprakarsai penyusunan materi keterangan pemerintah menyangkut undang-undang tertentu. Seperti ketika UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), UU Perseroan Terbatas, UU Advokat, dan UU Jabatan Notaris dipersoalkan.

“Tetapi, kadang materi yang menyangkut pertanian, ketenagakerjaan, kita juga yang membuat dan menyusun keterangannya. Ini membuktikan Kemenkumham memiliki posisi sentral dalam sidang pengujian undang-undang. Makanya, sampai saat ini pemerintah selalu hadir dalam setiap sidang pleno pengujian undang-undang di MK,” tegasnya.

Tak peduli
Terkadang, kata Mualimin, ada kementerian/lembaga tak peduli atau kurang apresiasi ketika undang-undang yang materinya terkait tupoksi Kementerian tersebut digugat. “Susah diajak rapat, sulit dihubungi, tidak memberikan bahan-bahan, seperti menyangkut eksistensi lembaga KPK. Mau tak mau kita mencari cara sendiri untuk meramu materinya.”  

Masalah yang dihadapi tak hanya kurang responsifnya kementerian teknis. Adakalanya Mualimin yang kecipratan amarah. Kalau salah menjawab, Mualimin diomeli. Misalnya ketika menyangkut organisasi profesi hukum. “Salah menjawab kita diomel-omelin, padahal kita sudah minta masukan secara resmi melalui surat, tetapi tidak direspon oleh organisasi notaris. Apalagi, kalau menyangkut organisasi advokat,” keluhnya.

Di sisi lain, Mualimin tak menampik ketika menghadiri sidang pleno pengujian undang-undang seringkali memperoleh transpor lokal sebesar Rp110 ribu. Namun, tidak selama transpor lokal ke MK dianggarkan. Seperti, selama tahun 2013 ada sekitar 120 perkara, tetapi Kemenkumham hanya menyediakan transpor lokal untuk sekitar 50 perkara per tiga orang.

“Tetapi, ketika melibatkan kementerian/lembaga, mereka juga biasanya menyediakan transpor lokal sebesar Rp510 ribu karena sifatnya hanya insidentil,” akunya.

Dikuasakan komisi terkait
Berbeda dengan DPR, Mualimin mengakui bahwa DPR tidak selalu hadir memberi keterangan/tanggapan ketika sebuah undang-undang. Adakalanya, DPR absen tidak memberi tanggapannya terhadap undang-undang yang dipersoalkan. Sebab, Komisi III DPR tidak memahami semua materi undang-undang yang dipersoalkan. Faktanya, selama ini tugas memberi keterangan DPR ini hanya menjadi tanggung jawab komisi yang membidangi hukum dan HAM.

“Di DPR memang agak ‘aneh’, karena setiap undang-undang yang digugat hanya dikuasakan kepada Komisi III DPR. Padahal, Komisi III belum tentu pihak yang membuat undang-undang yang dipersoalkan,” ujar pria yang juga menjabat Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham sejak awal Februari ini.

Menurut dia, penyiapan materi keterangan pemerintah seharusnya menjadi tanggung jawab Komisi DPR terkait sesuai substansi undang-undang yang dipersoalkan. Misalnya, ketika undang-undang yang dipersoalkan menyangkut pertahanan dan ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab Komisi I dan Komisi IX yang difasilitasi Biro Hukum DPR.

“Komisi III kan tidak memahami persoalan ketika undang-undang yang digugat menyangkut benih pertanian, kehewanan, penanaman modal. Makanya, saat sidang pleno pertama DPR seringkali tidak hadir, mungkin karena alasan tak paham substansi undang-undang yang dipersoalkan,” tegasnya.
Tags: