Darurat Hukum di Tahun Politik
Fokus

Darurat Hukum di Tahun Politik

Sengketa politik terancam tak bisa diproses hukum dengan baik. Tetapi nada optimisme masih terdengar.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Prof JE Sahetapy (paling kiri) dan Prof Denny Indrayana (paling kanan) dalam acara diskusi KHN beberapa waktu lalu. Foto: RES
Prof JE Sahetapy (paling kiri) dan Prof Denny Indrayana (paling kanan) dalam acara diskusi KHN beberapa waktu lalu. Foto: RES
Dua guru besar ilmu hukum berada dalam posisi berseberangan ketika membicarakan nasib penegakan hukum di tahun politik. Guru besar pertama, JE Sahetapy, melihat ada problem besar penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ia menyoroti mafia peradilan yang sudah masuk ke institusi penjaga konstitusi: Mahkamah Konstitusi (MK). Secara khusus profesor emeritus ini menyebut kasus Ketua MK, Akil Mochtar, dan keterlibatan sejumlah advokat dalam kasus korupsi.

Penangkapan Akil memang langsung menurunkan marwah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Tingkat pendidikan yang diraih hakim MK tertentu ternyata tak menjamin bebas dari perangkap uang. “Di MK tak perlu orang pintar, tetapi kita butuh orang bijak. Pintar dan bijak itu berbeda,” ujar Sahetapy.

Guru besar kedua adalah Denny Indrayana. Akademisi UGM Yogyakarta yang menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM ini menaruh rasa optimisme melihat perkembangan hukum dalam perspektif negara demokratis. Bahwa ia berbeda pandang dari Prof. Sahetapy melihat kondisi hukum, itu adalah ‘pilihan masing-masing’. Tetapi ia sepakat untuk mengukur bersihnya tahun politik ditentukan oleh semangat antikorupsi dijalankan para pemangku kepentingan perhelatan politik seperti KPU, Bawaslu, DPR, MK, DKPP, dan partai politik. “Seberapa bersihnya (penegakan hukum—red), ya kita lihat seberapa antikorupsi kegiatan politik,” kata Denny.

Duduk mengapit komisioner Komisi Yudisial, Ibrahim, dalam sebuah diskusi dengan nasib penegakan hukum di tahun politik pada 18 Februari lalu, Sahetapy dan Denny sebenarnya mewakili dua lembaga pemerintahan. Yang pertama sebagai Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) dan yang kedua sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM.

Pandangan Sahetapy mungkin bisa dirujuk pada buku yang diluncurkan KHN pada saat diskusi itu berlangsung. Judulnya ‘Ðarurat Hukum: Sumbang Saran Anggota Komisi Hukum Nasional RI’. Bisa juga terwakili dari pidato pembukaan yang disampaikan Sekretaris KHN, Mardjono Reksodiputro. Selama 14 tahun kiprahnya, urai Mardjono, KHN telah menghasilkan 66 rekomendasi bagi reformasi di bidang hukum. “Namun kami masih galau melihat perkembangan hukum dalam tahun-tahun terakhir ini,” kata Profesor Universitas Indonesia itu.

Transisi
Ihwal yang membuat Prof. Mardjono dan kawan-kawan di KHN galau adalah karakter tahun politik. Pada tahun politik 2014 akan terjadi pergantian pimpinan di sebagian besar lembaga. Memang, 90 persen anggota DPR mencalonkan diri kembali dalam pemilu April mendatang. Tetapi itu juga yang membuat sidang-sidang DPR menjadi lengang. Anggota DPR lebih mementingkan urusan konstituen daripada menjalankan fungsi legislasi, misalnya.

Walhasil, proses pembahasan beberapa undang-undang yang menentukan arah pembangunan bangsa ini ke depan bernasib nahas. Malah kemudian menjadi bola liar yang memperlihatkan peluang konflik. Tengoklah kini prokontra mengenai pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP. Pemerintah dan DPR di satu pihak tetap menginginkan pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP diteruskan, sedangkan KPK menginginkan peninjauan ulang. Belakangan, Mahkamah Agung dan Polri ikut mengkritik sebagian materi kedua rancangan itu.

Di tengah prokontra itu, nasib pengisian hakim MK belum jelas. Normatifnya, putusan MK baru sah jika diambil oleh minimal tujuh orang hakim. Paska penangkapan Akil, praktis hakim MK tersisa delapan orang. Per April nanti, Hardjono juga akan memasuki masa pensiun sebagai hakim. Jumlahnya bisa mengerucut jika putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Keppres pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati dikuatkan di tingkat banding dan kasasi. Kini, DPR sedang memperoses seleksi hakim konstitusi.

Jika semua kondisi itu terjadi, Mahkamah Konstitusi terancam kolaps, tak bisa menghasilkan putusan. Padahal, kata Prof. Saldi Isra, potensi penyelesaian sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi tetap besar setelah pelaksanaan Pemilu, April 2014. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang ini melihat kondisi semacam itulah yang potensial menimbulkan keadaan darurat. Parpol bersengketa memperebutkan kursi di parlemen, tetapi lembaga penyelesaiannya tak siap.

Selama bertahun-tahun, sebelum penangkapan Akil, MK punya jejak rekam yang bagus dan dipercaya dalam menyelesaikan sengketa pemilu dan pilkada. Tetapi setelah kasus Akil, kepercayaan itu runtuh. Buktinya, kini sejumlah mahasiswa hukum menggugat kewenangan Mahkamah menangani kasus pilkada, persoalan yang dulu muncul ketika kewenangan mengadili diambil pembentuk undang-undang dari Mahkamah Agung.

Lembaga penegak hukum
Masalahnya, penegakan hukum berkaitan dengan pesta demokrasi tak hanya bergantung pada MK atau Mahkamah Agung. Jangan dilupakan Kepolisian, Kejaksaan, KPK, apalagi penyelenggara dan pengawas pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP).

Denny Indrayana mengatakan semakin bagus penegak hukum semakin demokratis suatu negara. Penegakan hukum yang adil juga bisa dilihat dari negara demokratis. Semakin koruptif penegak hukum dan penegakan hukumnya semakin tidak demokratis suatu negara. Korupsi bisa terjadi ketika kewenangan dimonopoli tanpa keterbukaan.

Banyaknya lembaga yang menangani urusan sengketa politik di satu sisi menunjukkan ketiadaan monopoli kewenangan. Namun di sisi lain bisa menjadi hambatan jika minim koordinasi. Sebut misalnya kemungkinan intervensi kekuasaan terhadap institusi kejaksaan jika menyangkut pejabat, tokoh politik, atau partai politik pemegang kekuasaan (ruling party). Penuntutan pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu yang ditangani jaksa bisa terkendala.

Staf ahli Jaksa Agung, Dachmer Munthe, memastikan Kejaksaan Agung dan jajarannya netral dan independen. Ia menjelaskan Jaksa Agung sudah mewanti-wanti agar jaksa tidak bermain-main politik dalam menangani kasus. “Jaksa Agung berpesan supaya ekstra hati-hati, jangan sampai terbawa arus,” kata mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur itu. “Nggak ada masalah dengan tahun politik. SOP-nya sudah jelas,” sambung Dachmer.

Suara kepolisian tak jauh beda. Wakabareskrim Mabes Polri, Anas Yusuf, mengatakan polisi sudah mewanti-wanti gangguan terhadap perhelatan politik pada 2014. Uji coba pengamanan pun sudah dilakukan. Anas yakin proses penegakan hukum di kepolisian akan dijalankan dengan profesional. Kalaupun suara miring terhadap kepolisian masih terdengar, “ kata Anas, “harus tetap optimis karena kritik itu menjadi dorongan untuk mengarah ke yang lebih baik”.

Penegak hukum lain, advokat, bisa menjadi bagian dari tahun politik ketika mereka menjadi caleg atau ketika mereka membela klien. Sahetapy galau melihat sikap membela klien secara membabi buta terutama klien yang terjerat perkara korupsi. Ia menyarankan agar advokat yang dibayar dari uang hasil korupsi juga bisa diproses hukum.

Darurat hukum di tahun politik pada prinsipnya hanyalah sebuah harapan agar ada perbaikan nasib penegakan hukum. Setiap pelanggaran pemilu diproses dan setiap sengketa diselesaikan dengan baik. Kasus-kasus pelanggaran kampanye dan iklan politik yang terjadi saat ini, khususnya di layar televisi, bisa menjadi cermin untuk melihat seberapa serius aparat penegak hukum bekerja.

Dan jangan lupa juga pada  indikator lain penegakan hukum politik. Denny Indraya menunjuk kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpendapat. “Kalau ukurannya pemilu jujur dan adil, lihat apakah pemilu sebelum 1998 lebih demokratis mana dibanding sekarang,” kata guru besar bidang hukum tata negara itu.
Tags:

Berita Terkait