UU Diuji ke MK, OJK Tetap Akan Pungut Iuran
Berita

UU Diuji ke MK, OJK Tetap Akan Pungut Iuran

OJK akan berkoodinasi dengan pemerintah menghadapi uji materi UU OJK.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum menentukan sikap terkait pengajuan uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski demikian, OJK akan tetap memberlakukan atau memungut iuran dari industri perbankan.

Kepala Pengawas Eksekutif Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, meski terdapat gugatan ke MK, OJK tetap akan memungut iuran dari industri perbankan. Menurutnya, pungutan terhadap industri perbankan ini merupakan amanat dari PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK.

“Tidak akan berpengaruh (gugatan) terhadap pungutan OJK, kami jalan terus,” kata Nelson di Komplek Parlemen di Jakarta, Senin (3/3).

Pungutan terhadap industri perbankan akan diberlakukan secara bertahap. Untuk sementara pungutan akan sebesar 0,03 persen dari aset. Sedangkan di tahun berikutnya, pungutan akan sebesar 0,045 dari aset. Ia meyakini nilai pungutan ini sudah sesuai dengan kebutuhan.  

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah terkait pengajuan uji materi UU tersebut. “Mengenai gugatan ini, saya masih perlu berkoordinasi dengan pemerintah, tentunya kami akan mengikuti ketentuan yang berlaku,” kata Muliaman.

Sayangnya, Muliaman enggan berkomentar lebih jauh mengenai substansi gugatan yang diajukan oleh Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa beberapa waktu lalu itu. “Kalau soal substansi (gugatan), saya enggan berkomentar,” kata Muliaman di sela-sela rapat kerja dengan Komisi XI DPR.

Muliaman menjelaskan, alasan OJK ingin berkoordinasi dengan pemerintah lantaran lembaga OJK lahir dari UU yang dibahas antara pemerintah dan DPR. Salah satu tujuan keberadaan OJK adalah untuk memperbaiki perlindungan terhadap sektor industri keuangan di Indonesia.

Mengenai pungutan, Muliaman membantah ada sejumlah pernyataan yang menilai bisa membebani industri keuangan maupun nasabah. Menurutnya, pungutan ini merupakan amanat UU OJK dan ujungnya bisa kembali ke industri dalam bentuk program atau kegiatan.

Sebelumnya, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa mempersoalkan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan OJK. Hal itu dikarenakan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan di OJK tak diatur dalam konstitusi. Permintaan tersebut ditandai dengan adanya pengajuan permohonan uji materi UU tentang OJK ke MK.

Pasal yang diuji merupakan 'jantung' dari keberadaan OJK. Anggota Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa Salamuddin Daeng mengatakan, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945.

Menurutnya, kata 'independen' dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Atas dasar itu, kata 'independen' dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dicangkok secara utuh dari Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI).

“Independensi itu hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang dapat dimungkinkan adanya bank sentral yang independen,” kata Salamuddin.

Selain membatalkan Pasal 1 angka 1 UU OJK, lanjut Anggota Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa Ahmad Suryono, pihaknya meminta MK untuk membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37 UU OJK. Pasal 5 UU OJK yang menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berdampak pada penumpukan kewenangan.

“Penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard,dimana kemudian OJK di-settinguntuk independen sehingga pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol,” katanya.

Sedangkan Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya lantaran akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. “Jika akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit?” tanyanya.

Selain itu, Suryono meminta MK untuk menyatakan frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait