DPR Minta Hapus Tagih untuk KUR di Wilayah Bencana
Utama

DPR Minta Hapus Tagih untuk KUR di Wilayah Bencana

OJK berharap ada payung hukum pelaksanaan penghapusan tagihan kredit kepada para debitur di daerah-daerah bencana.

Oleh:
FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sejumlah anggota Komisi XI DPR meminta adanya hapus tagih untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang terkena bencana meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, banjir bandang di Kota Manado dan erupsi Gunung Kelud. Ketua Komisi XI Olly Dondokambey mengatakan, permintaan hapus tagih ini mencuat setelah sejumlah anggota dewan mengunjungi beberapa wilayah yang terkena bencana tersebut.

“Ada permintaan dari nasabah hapus tagih bagi yang mengalami kerugian total. Seperti gudang habis, tempat habis, rumah juga habis. Makanya adakan rapat,” kata Olly dalam rapat kerja dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bank-bank BUMN.

Sejalan dengan itu, lanjut Olly, beberapa waktu lalu OJK telah mengeluarkan dua keputusan dewan komisioner terhadap dua bencana Gunung Sinabung dan banjir bandang di Kota Manado. Pertama, Keputusan Dewan Komisioner OJK No. 2/KDK.03/2014 tentang Penetapan Beberapa Kecamatan di Kabupaten Karo Sebagai Daerah yang Memerlukan Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank. Kedua, Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor 3/KDK.03/2014 tentang Penetapan Kota Manado Sebagai Daerah yang Memerlukan Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank.

Tapi sayangnya, dalam dua keputusan dewan komisioner OJK tersebut tak ada yang menjelaskan mengenai hapus tagih. Kedua keputusan itu hanya memberikan kelonggaran bagi debitur yang terkena dampak dari bencana alam.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, kelonggaran kredit yang diberikan OJK masih tetap terukur. Atas dasar itu, tak ada ketentuan hapus tagih dalam kedua keputusan dewan komisioner OJK tersebut.

Misalnya, penilaian kualitas kredit dengan plafon maksimal Rp5 miliar hanya didasarkan atas ketepatan membayar. Sedangkan untuk kualitas kredit bagi bank umum maupun BPR yang direstrukturisasi akibat bencana alam akan ditetapkan lancar sejak restrukturisasi sampai dengan 3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana. Restrukturisasi kredit tersebut dapat dilakukan terhadap kredit yang disalurkan baik sebelum maupun sesudah terjadinya bencana.

“Semua dibuka kelonggaran tapi terukur, sehingga tidak timbul moral hazard. Selain prinsip kehati-hatian, (kelonggaran kredit) karena ingin membangkitkan kembali kegiatan perekonomian di daerah,” ujar Muliaman.

Muliaman mengakui banyak pihak yang mengharapkan adanya hapus tagih. Namun, ia berharap ada payung hukum pelaksanaan penghapusan tagihan kredit kepada para debitur di daerah-daerah bencana dari DPR.

"Keinginan hapus tagih itu sudah banyak, tapi payung hukumnya yang perlu dibuat. Mudah-mudahan ada upaya khusus untuk menyelesaikan payung hukum itu," katanya.

Dirut BNI Gatot M Suwondho mengatakan, selain memberikan kelonggaran bagi debitur yang terkena bencana, BNI juga berencana untuk memberikan hapus tagih ke sejumlah debitur. Menurutnya, salah satu dasar hukum BNI untuk memberikan hapus tagih adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

“Upaya yang akan dilakukan adalah restrukturisasi dan penyelamatan kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan jumlah kredit atau discount dan hapus tagih,” kata Gatot.

Anggota Komisi XI Kamaruddin Sjam mendukung adanya hapus tagih bagi debitur yang terkena bencana alam. Bila perlu, hapus tagih ini menjadi bahan masukan bagi Komisi XI dalam membahas RUU Piutang Negara dan Piutang daerah dan RUU Perbankan. “Kriteria bagaimana, seperti apa yang harus dihapuskan, batas maksimal harus ada,” katanya.

Dukungan serupa juga datang dari Anggota Komisi XI lainnya, Edwin Kawilarang. Menurutnya, dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 3 ayat (2) huruf b dan d UU itu menyebutkan bahwa prinsip-prinsip penanggulangan bencana prioritas serta berdaya guna dan berhasil guna.

Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan prioritas adalah apabila terjadi bencana kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. Maksud prinsip berdaya guna adalah dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya yang berlebihan. Sedangkan prinsip berhasil guna adalah kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya yang berlebihan.

“UU ini bisa digunakan sebagai payung untuk memberikan solusi terhadap hapus tagih dalam kondisi bencana,” kata Edwin.

Tak Bulat
Komisi XI tak bulat untuk memberikan hapus tagih kepada debitur KUR yang terkena bencana. Setidaknya, Anggota Komisi XI Maruarar Sirait dan Ecky Awal Mucharam berharap agar, pemberian hapus tagih tersebut dipikirkan matang-matang. Menurut Ecky, bencana Gunung Sinabung dan banjir bandang di Manado bukanlah bencana nasional seperti tsunami di Aceh dan gempa di Jogjakarta beberapa tahun silam.

Lantaran bukan bencana nasional dan diberikan hapus tagih, lanjut Ecky, maka ke depan, wilayah lain yang misalnya terkena bencana dapat menuntut hapus tagih. Terlebih lagi, keputusan dewan komisioner OJK tak menyebut klasifikasi hapus tagih di dalamnya.

“Kalau boleh hapus tagih, daerah bencana itu, cantolannya ke UU apa? Keputusan MK atau bukan. Kalau belum, hanya melokalisir daerah tertentu, ini bukan hanya kepentingan sekarang, kecuali OJK punya klasifikasi tertentu tentang bencana,” katanya.

Maruarar mengingatkan, dengan hanya mengandalkan keputusan dewan komisioner OJK yang tak menyebutkan hapus tagih, perlu dipertimbangkan lagi bagi perbankan untuk memberikan hapus tagih. Atas dasar itu, ia menyarankan agar ada rapat lanjutan dengan mengundang sejumlah aparat penegak hukum dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperjelas hal ini.

“Perlu ada kepastian rasa aman. Jangan ambil keputusan yang tidak bisa dilaksanakan,” ujarnya.

Perdebatan ini tak bermuara. Akhirnya, Olly menutup rapat kerja tanpa ada rekomendasi dari Komisi XI. Meski begitu, Komisi XI mengagendakan kembali rapat kerja ini dengan mengundang sejumlah aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK dan BPK.
Tags:

Berita Terkait