Komunikasi Internal Pemerintah Dinilai Lemah
Pembahasan RKUHAP dan RKUHP

Komunikasi Internal Pemerintah Dinilai Lemah

Berimplikasi menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) antara pemerintah dengan DPR menimbulkan polemik di masyarakat. Minimnya komunikasi pemerintah terhadap seluruh unsur penegak hukum yang mengikuti pembahasan RKUHAP dan RKUHP mendapat kritikan dari anggota dewan. 

“Sebaiknya pemerintah dalam pengajuan suatu RUU perlu melakukan komunikasi dan koordinasi yang baik, sehingga hal ini tidak terulang lagi. Dengan demikian pemerintah dan legislasi bisa lebih bersinergi lagi,” ujar anggota Panja RKUHAP dan RKUHP Sarifuddin Sudding dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Rabu (5/3).

Dia mengatakan dalam pembahasan RKUHAP dan RKUHP, DPR dianggap telah melakukan pelemahan terhadap sejumlah kewenangan lembaga anti korupsi. Sebab, sejumlah pasal dalam RKUHAP dan RKUHP dinilai melemahkan dan meniadakan kewenangan KPK dalam pemberantasan. Padahal, semestinya RKUHAP dan RKUHP memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi.

Sejumlah pasal yang dinilai melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi antara lain dimasukannya sifat kejahatan luar biasa. Misalnya kejahatan korupsi, terorisme, dan  narkoba dalam buku dua RKUHP. Menurut Sudding, hal itu dapat diartikan pembubaran terhadap KPK, PPATK, BNN, serta lembaga-lembaga sejenis.

Selain itu, substansi materi revisi mengenai penyelidikan  dan kewenangan penyadapan. Menurut Sudding, penyelidikan merupakan hal esensial. Jika itu dihilangkan dari fungsi dan kewenangan KPK, dimungkinkan menyulitkan lembaga itu dalam melakukan tindakan hukum yang cepat. Hal lainnya, beberapa delik seperti penyuapan dan gratifikasi yang tertuang dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, justru dimasukan dalam RKUHP sebagai kejahatan jabatan.

Sudding yang tercatat sebagai snggota Komisi III itu menuturkan, RKUHAP dan RKUHP merupakan usulan dan inisiatif pemerintah. Seharusnya, KPK sebagai lembaga pelaksana RKUHAP dan RKUHP merupakan bagian dari pemerintah. “Sehingga tidak tepat menyalahkan DPR terkait dengan beberapa pasal yang dinilai dapat mengamputasi kewenangan lembaga seperti KPK, BNN, dan PPATK,” ujarnya.

Politisi Partai Hanura itu menilai KPK dan tim pemerintah tidak solid dalam hal komunikasi. Koordinasi internal antar lembaga masih lemah. Hal itu justru berimplikasi tidak kondusifnya suasana di tengah masyarakat yang berujung menimbulkan polemik dan kritik dari berbagai pihak.

Lemahnya koordinasi dan komunikasi internal pemerintah, kata Sudding, bisa dilihat dari tidak sinkronnya beberapa pasal yang terdapat dalam RKUHP dengan pidana yang sudah ada. Misalnya terkait dengan kejahatan terorisme, korupsi dan suap. “Kemudian soal kewenangan penyelidikan yang dimiliki aparat penegak hukum,” ujarnya.

Anggota tim perumus KUHP Charul Huda menuturkan, komunikasi internal pemerintah berjalan baik. Menurutnya, pihak KPK yang saat itu diwakili Chandra M Hamzah –saat menjabat wakil ketua KPK - dilibatkan dalam merumuskan penyusunan RKUHAP dan RKUHP. Chaerul berpendapat, KPK merupakan produk UU.

“Yang buat UU ini adalah DPR. Saya tidak mengerti orang meragukan pemerintah dan DPR. Bahwa proses ini harus dikawal kita setuju supaya DPR tidak main-main dengan pemerintah, tapi kita letakan ini secara proporsional,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta itu meminta masyarakat memberikan kesempatan kepada DPR dan pemerintah untuk meneruskan pembahasan, bukan meminta untuk menghentikan pembahasan RKUHAP dan RKUHP.

Ia berpandangan, jika nantinya masyarakat menilai terdapat pasal yang tidak sesuai, maka dapat diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. “Jadi ada mekanismenya dan kita hormati aturan mainnya. “Jadi kalau bisa diteruskan supaya asasnya terbarukan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait