Wahiduddin dan Aswanto Terpilih Sebagai Hakim Konstitusi
Seleksi Hakim Konstitusi

Wahiduddin dan Aswanto Terpilih Sebagai Hakim Konstitusi

Pengamat menilai dua calon terpilih tidak memiliki kompetensi dan integritas yang mumpuni.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana pemungutan suara untuk memilih hakim konstitusi di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (5/3). Foto: RES
Suasana pemungutan suara untuk memilih hakim konstitusi di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (5/3). Foto: RES
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih Wahiduddin Adams dan Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) setelah melewati uji kelayakan dan kepatutan.

Pemilihan terhadap Wahiduddin dan Aswanto dilakukan melalui mekanisme voting, setelah musyawarah mufakat tidak menemui titik temu. Atas terpilihnya dua hakim konstitusi ini, maka lengkap sudah jumlah sembilan hakim yang akan bertugas menjaga konstitusi.

“Dengan demikian hasil perhitungan suara terbanyak, DR Wahiduddin adams dengan 46 suara dan kedua, Prof Aswanto dengan perolehan 23 suara. Maka diketuk, sah hakim konstitusi dan selesai fit and proper test,” ujar Wakil Ketua Komisi III Al Muzzammil Yusuf di Gedung DPR, Rabu (5/3) malam.

Sebelum voting, Komisi III melakukan rapat pleno dengan tim pakar. Dalam rapat itu, tim pakar memberikan empat nama yang dinilai memenuhi kriteria. Keempat nama itu adalah Wahiduddin Adams, Aswanto, Ni’matul Huda, dan Atip Latipulhayat. Setelah dilakukan voting, Wahiduddin memperoleh 46 suara, Aswanto memperoleh 23 suara, Atip Latipulhayat 19 suara, dan Ni’matul Huda 12 suara.

Wahiduddin dan Aswanto akan mengisi dua kursi lowong. Yakni, kursi mantan Ketua MK Akil Mochtar yang mundur setelah terjerat kasus suap dan Hakim Konstitusi Harjono yang telah memasuki masa purna bhakti.

Anggota Tim Pakar Prof Saldi Isra menuturkan pertimbangan empat nama calon itu direkomendasikan lantaran berdasarkan cara menjawab dan performa mereka di depan tim pakar dan anggota komisi III. Selain itu, keempat calon itu dinilai memiliki penguasaan hukum tata negara yang cukup mumpuni. “Beberapa hal lain seperti diskusi di antara kita (tim pakar, red) yang dianggap layak,” ujarnya.

Menurut Saldi, penilaian tidak dilakukan melalui skor maupun rangking. Terhadap keempat nama yang direkomendasikan menjadi kewenangan Komisi III untuk menentukan pilihan dua nama dari empat nama yang disodorkan tim pakar. “Memilih empat, karena empat nama itu ibarat ujian lewat passing grade, walau kita tidak menentukan nilai,” katanya.

Al Muzzammil mengatakan, Komisi III menghormati rekomendasi yang disodorkan tim pakar. Soal adanya perbedaan pandangan antar fraksi di Komisi III merupakan hal yang wajar. Menurutnya, pertimbangan menentukan Wahiduddin terpilih menjadi hakim konstitusi didasari pengalaman yang sudah cukup.

Wahiduddin bekerja di bidang peraturan dan perundangan sudah puluhan tahun. Ia adalah mantan Dirjen Peraturan dan Perundangan Kementerian Hukum dan HAM. Gelar doktor diperoleh dari Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menurut Muzzammil, dalam menjalani uji kelayakan dan kepatutan, anggota tim pakar seperti Andi Matalata telah memberikan garansi. Pasalnya Andi mengetahui jejak rekam Wahiduddin yang juga mantan bawahannya di Kementerian Hukum dan HAM. Maklum, Andi merupakan Menteri Hukum dan HAM kala itu. Makanya Andi enggan melontarkan pertanyaan kepada Wahiduddin kala menjalani tes wawancara.

Sedangkan Aswanto tercatat sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar. Gelar doktor hukum pidana diperoleh dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. “Saya kira dua calon ini terbaik dari calon yang lain,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah anggota Komisi III menyatakan bahwa dari calon-calon hakim konstitus itu tidak ada yang layak untuk menempati posisi sang penjaga konstitusi. Alasannya, karena ketika menjalani praktik wawancara, para calon terlihat tak mampu menjawab pertanyaan tim pakar.

Lalu, mengapa para anggota Komisi III tetap memilih dua hakim konstitusi ini?

Muzzamil mengatakan bahwa penilaian para koleganya itu sebelumnya hanya penilaian secara umum. Ia pun membantah ada keterpaksaan dalam pemilihan hakim konstitusi ini. “Saya kira teman-teman memberikan gambaran umum pada saat sebelum selesai fit and proper test kan belum final,” katanya.

Anggota Komisi III dari PKS Nasir Djamil menambahkan Wahiduddin dinilai telah berpengalaman. Malahan memiliki jam terbang yang cukup panjang dengan peraturan dan perundangan. Makanya anggota komisi yang memilihnya meyakini kemampuannya, bahkan tidak meragukan. Dengan kata lain, Wahiduddin memiliki integritas dan kualitas yang cukup. Sedangkan Aswanto memiliki integritas dan kualitas serta layak dipilih menjadi hakim konstitusi. “Jadi dari sisi kapasitas dan integritas sudah sesuai dan penting keduanya terlibat dalam MK,” katanya.

Terpisah, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyayangkan DPR memilih Wahiduddin dan Aswanto. Pasalnya, berdasarkan rekam jejak dan pemantauan koalisi masyarakat sipil terhadap calon selama seleksi, Wahiduddin dan Aswanto dinilai tak lolos kompetensi dan integritas. “Banyak sekali cacat integritas yang dimilikinya,” ujarnya melalui pesan pendek kepada hukumonline.

Menurut Erwin, terpilihnya Wahiduddin dan Aswanto dipandang sulit mengembalikan kredibilitas wajah lembaga konstitusi akibat terpuruk sejak Akil Mochtar –mantan ketua MK- menjadi tersangka dalam kasus suap. “Pada intinya, kami sangat kecewa atas pilihan tim pakar dan Komisi III,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait