Sepuluh Usulan Agenda Politik Perempuan
Berita

Sepuluh Usulan Agenda Politik Perempuan

Diusulkan organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Sepuluh Usulan Agenda Politik Perempuan
Hukumonline
Sejumlah LSM dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia Beragam mengusung 10 agenda politik perempuan yang ditujukan kepada caleg dan capres yang maju dalam Pemilu 2014.

Menurut salah satu anggota koalisi dari Migrant Care, Anis Hidayah, sepuluh agenda yang diangkat itu terdiri dari isu-isu penting yang berkaitan dengan pemenuhan hak perempuan. Misalnya, hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan serta kelompok marjinal secara adil dan berkualitas. Lalu, hak atas pendidikan yang berkualitas, berkeadilan gender dan menghargai keberagaman. Anis juga mengatakan Koalisi menyerukan agenda penghentian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Penghentian pemiskinan perempuan, kelompok dan menyediakan perlindungan sosial yang memadai. Para caleg dan capres juga dituntut untuk mengedepankan perlindungan perempuan dalam situasi konflik, bencana serta menjamin pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Selain itu Koalisi mendorong agar caleg dan capres yang bakal bertarung dalam Pemilu nanti serius berupaya memenuhi hak atas pekerjaan layak bagi perempuan. Misalnya, memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia, pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja perempuan di sektor industri informal.

Anis menilai kondisi buruk yang dialami kaum perempuan bukan hanya berada di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Migrant Care mencatat rata-rata setiap hari ada 4 pekerja migran Indonesia meninggal di negara penempatan. Setiap tahun tindak kekerasan yang dialami pekerja migran Indonesia, khususnya kaum perempuan secara kuantitatif dan kualitatif meningkat. Sialnya, akses mereka untuk mendapat keadilan sangat kecil seperti yang terjadi di Arab Saudi dan Malaysia.

“Anggaran perlindungan yang dikucurkan pemerintah tahun ini turun ketimbang tahun lalu. Itu kenapa kok berkurang, padahal kekerasan yang terjadi meningkat,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (6/3).

Atas dasar itu Anis menilai pemerintah dan parlemen yang ada saat ini tidak serius dalam melakukan perlindungan hak-hak kaum perempuan. Oleh karenanya untuk pemerintahan dan anggota parlemen yang nanti terpilih koalisi mengusung sepuluh agenda politik yang fokus mengurusi isu perempuan. Tentu saja para calon anggota legislatif dan eksekutif yang disasar untuk membawa agenda itu bukan hanya yang duduk di pusat tapi juga daerah. Dengan begitu diharapkan dalam satu periode pemerintahan, mereka mampu mewujudkan bermacam isu tersebut. Tentunya koalisi akan mengawal implementasinya dalam lima tahun ke depan.

Tak kalah penting, koalisi juga menyodorkan agenda perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Lalu hak politik perempuan seperti berorganisasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kewarganegaraan. Serta penghapusan produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Termasuk penghentian praktik korupsi di roda pemerintahan. “Diharapkan 10 agenda itu dapat dibangun pemerintahan yang baru,” papar Anis.

Anggota Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, menjelaskan salah satu bukti ketidakseriusan pemerintahan saat ini dalam melindungi kaum perempuan dapat dilihat dari angka kematian ibu (AKI) melahirkan yang sangat tinggi. Berdasarkan data Statistik Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2012 ditemukan ada 359 kasus kematian ibu setiap 100 ribu kelahiran. Padahal pemerintah menargetkan AKI hanya berada di angka 108 per 100 ribu kelahiran. “Salah satu pukulan berat adalah AKI. Sehari ada 44 perempuan meninggal saat melahirkan,” tukasnya.

Bagi Dian kondisi itu tidak selaras dengan sejumlah peraturan yang ada terkait perempuan seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Rencana Aksi Nasional untuk percepatan penurunan AKI pada 2013-2015 yang diluncurkan Menkes.

Anggota koalisi dari Institut KAPAL Perempuan, Misiyah, berpendapat AKI harusnya menjadi pusat perhatian pemerintah. Sebab, AKI sama halnya seperti bencana yang harus ditanggulangi. Sayangnya, dalam mengatasi masalah AKI pemerintah hanya menggunakan pendekatan medis. Di beberapa negara, kata dia, AKI digunakan sebagai bagian dari parameter untuk melihat indeks pembangunan manusia dan ekonomi di sebuah negara. Semakin kecil AKI maka pembangunan manusia dan ekonomi di suatu negara meningkat. “Tidak ada kebijakan pemerintah saat ini yang memprioritaskan perlindungan kesehatan reproduksi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait