Konstitusi Tidak Menolak Privatisasi
Berita

Konstitusi Tidak Menolak Privatisasi

Banyak yang tidak memahami asas kebersamaan dalam prinsip ekonomi yang diamanatkan konstitusi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Seminar hukum sciencesational FHUI, Depok, Jumat (7/3). Foto: Istimewa
Seminar hukum sciencesational FHUI, Depok, Jumat (7/3). Foto: Istimewa
Perdebatan mengenai sistem ekonomi di tengah arus globalisasi tak pernah usai. Banyak pihak memandang, Indonesia tak boleh larut dalam gempuran sistem liberalisme dan kapitalisme. Sebaliknya, tak sedikit yang berpandangan bahwa negeri ini tak bisa mengelak dari tuntutan zaman untuk turut dalam sistem yang menghegemoni.

Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva meyakini, kepemilikan privat yang merupakan esensi liberalisme ekonomi tak bisa dipahami secara mutlak. Ia menilai, hal itu bisa diterima secara relatif. Syaratnya, penguasaan negara atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak tetap terpelihara.

“Pasal 33 UU Dasar 1945 tidak menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak,” jelas Hamdan dalam seminar hukum sciencesational FHUI, Depok, Jumat (7/3).

Lebih lanjut Hamdan mengungkapkan, pemaknaan itu terjelma dalam putusan MK  terhadap pengujian beberapa undang-undang. MK mengabulkan pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, serta UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Ketiga pengujian itu memaknai penguasaan oleh negara dalam cakupan luas. Artinya, pengusaan negara bersifat kolektif oleh rakyat karena berasal dari kedaulatan rakyat.

“Namun pemaknaan itu berkembang dalam putusan pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Konstitusi tidak menolak kompetisi asalkan tidak meniadakan penguasaan oleh negara,” ungkapnya.

Daniel Sihombing, Analis Kebijakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha berpendapat, amandemen Pasal 33 UUD 1945 telah membawa rezim efisiensi berkeadilan. Menurutnya, perubahan itu membuat persaingan usaha menjadi lebih terukur. Di sisi lain, frasa berkeadilan merupakan istilah hukum yang tak banyak diperhatikan dalam ekonomi.

“Istilah berkeadilan ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk bisa memaknai dan mewujudkannya,” ungkapnya.

Menurut Daniel, kini tantangan yang harus dihadapi dalam mengawasi persaingan usaha yang sehat adalah kebijakan luar negeri. Ia melihat saat ini masih ada pertarungan antara kebijakan domestik dengan kebijakan internasional. Pasalnya, Indonesia belum mengenal penegakan hukum yang bersifat ekstrateritorial.

“UU No. 5 Tahun 1999 tentang Pelarangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat, belum mengatur extraterritorial law enforcement. Ke depan hal ini harus juga diatur agar kita bisa melakukan kerja sama penegakan hukum persaingan usaha di luar negeri,” ungkapnya.

Di sisi lain, guru besar ekonomi UI, Sri Edi Swasono mengingatkan, konstitusi Indonesia tidak mengenal liberalisme ekonomi. Ia menegaskan, Pasal 33 UUD 1945 secara jelas mengamanatkan asas kebersamaan dalam sistem ekonomi. Oleh karena itu, ia menekankan seharusnya pembangunan ekonomi tidaklah menggusur orang miskin melainkan menghapus kemiskinan.

“Saat ini banyak yang tidak memahami asas kebersamaan dalam prinsip ekonomi yang diamanatkan konstitusi. Akibatnya, yang terjadi bukan pembangunan Indonesia melainkan pembangunan di Indonesia. Lebih parah lagi, pembangunan ini malah menggusur orang miskin bukan kemiskinannya,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait