OJK Dinilai Tak Layak Kenakan Pungutan Kepada BPJS
Berita

OJK Dinilai Tak Layak Kenakan Pungutan Kepada BPJS

Sebab BPJS program negara, bukan komersial.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Presidium KAJS, Timboel Siregar. Foto: SGP
Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Presidium KAJS, Timboel Siregar. Foto: SGP
Terbitnya PP No.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memungkinkan lembaga yang bergerak di bidang jasa keuangan untuk dipungut iuran oleh OJK. Dari bermacam lembaga yang dapat dikenakan iuran, salah satunya BPJS.

Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Presidium KAJS, Timboel Siregar, pada Pasal 1 ayat (4) PP Pungutan OJK itu mendefinisikan sektor jasa keuangan yaitu perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Ketentuan itu memungkinkan bagi OJK untuk mengenakan pungutan kepada BPJS.

Potensi pungutan itu menurut Timboel ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) PP No.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK yang menyatakan,OJK dapat mengenakan pungutan sampai dengan nol persen. Dalam penjelasan pasal tersebut,BPJS tercantum sebagai lembaga yang dapat dikenakan pungutan. Oleh karenanya,ia menilai kata 'dapat' pada ketentuan itu tidak menjamin BPJS lepas dari pungutan OJK. Kemudian dalam Pasal 19 ayat (2) pungutan itu dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan (Menkeu).

“Nasib BPJS membayar pungutan atau tidak ditentukan juga oleh Menkeu,” kata Timboel kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (7/3).

Timboel mengatakan BPJS Watch sudah lama mengingatkan agar BPJS tidak membayar pungutan kepada OJK. Sebab BPJS bukan lembaga jasa keuangan. Pasal 1 UU BPJS sudah jelas menyatakan bahwa BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Sosial (Jamsos).

“Mengingat BPJS bukan lembaga jasa keuangan dan merujuk Pasal 1 ayat (2) PP Pungutan OJK tersebut maka sudah seharusnya BPJS dikesampingkan sebagai institusi yang membayar iuran kepada OJK,” ucapnya.

Bagi Timboel pengecualian pengenaan pungutan oleh OJK kepada BPJS itu selaras Pasal 4 UU SJSN jo Pasal 4 UU BPJS yang menyatakan BPJS menjalankan sistem Jamsos berdasarkan prinsip nirlaba. Ketentuan itu menegaskan BPJS bukan lembaga yang mencari profit seperti lembaga jasa keuangan lainnya. Sekalipun BPJS mengelola dana Jamsos, hasil pengelolaannya digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan kepentingan peserta. Apalagi,saat ini BPJS membutuhkan dana yang besar guna membangun sistem dan infrastruktur operasional.

“Khusus untuk BPJS Kesehatan yang masih mengalami banyak masalah karena terkait biaya INA-CBGs dan Kapitasi maka sudah seharusnya dana Jamsos dikhususkan untuk mendukung pelayanan BPJS kesehatan kepada para pesertanya, bukan malah untuk membayar iuran kepada OJK,” tegas Timboel.

Merujuk peraturan yang ada Timboel menjelaskan peran OJK hanya diatur dalam bab penjelasan dari pasal 39 ayat (3) UU BPJS. Yaitu OJK termasuk salah satu lembaga independen yang melakukan pengawasan eksternal terhadap BPJS. Namun pengawas eksternal BPJS yang paling utama bagi Timboel adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Oleh karenanya penting untuk memperkuat DJSN. Dalam menjalankan tugas pengawasan itu, DJSN tidak membebankan pungutan (iuran) kepada BPJS.

“Seharusnya pengawasan yang dilakukan OJK juga tidak harus membebani BPJS untuk membayar iuran,” katanya.

Untuk mengatasi persoalan itu Timboel menyebut BPJS Watch mendesak agar PP tentang Pungutan Oleh OJK direvisi. Khususnya pasal 19 agar secara tegas menyebut BPJS tidak dikenakan pungutan oleh OJK. Lalu, Presiden SBY dituntut segera memberhentikan anggota DJSN lama dan mengangkat yang baru. Sehingga DJSN dapat menjalankan tugas-tugasnya secara optimal. Tapi pemilihan anggota DJSN yang baru harus profesional dan ahli di bidangnya. Bukan sekedar memilih dari unsur tripartit yang terdiri dari pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi pengusaha.

“Saat ini Presiden SBY terus membiarkan komposisi anggota DJSN yang tidak optimal lagi dimana beberapa anggotanya sudah ada yang meninggal atau bertugas di institusi lain,” tukas Timboel.

Sementara guru besar FKM UI, Hasbullah Thabrany, mengatakan OJK tidak relevan memungut iuran kepada BPJS. Sebab, tugas utama OJK mengawasi industri jasa keuangan yang sifatnya komersial, bukan program negara yang nirlaba seperti BPJS. Jika iuran itu tetap dikenakan oleh OJK berarti hal serupa harus berlaku terhadap lembaga negara yang karakternya sama seperti BPJS. Misalnya Dirjen Pajak dan Bea Cukai.

“OJK tidak relevan memungut iuran kepada BPJS, itu salah kaprah,” urainya.

Soal pengelolaan investasi yang dilakukan BPJS, Hasbullah menjelaskan hal itu bukan alasan bagi OJK untuk mengenakan pungutan. Pasalnya BPJS menjalankan program yang sudah ditetapkan sesuai peraturan yang ada. Sehingga kecil kemungkinan ada resiko bagi peserta untuk “dibohongi” BPJS. Tapi, bagi lembaga jasa keuangan komersial potensi itu bisa terjadi karena program yang digelar ditentukan sendiri oleh perusahaan yang bersangkutan. Oleh karenanya, OJK berperan penting melakukan pengawasan sekaligus memungut iuran kepada perusahaan yang bergerak di industri jasa keuangan komersil itu.

Sementara Dirjen BUK Kemenkes, Akmal Taher, khawatir potensi pungutan oleh OJK terhadap BPJS akan membebani biaya pelayanan kesehatan yang digelar BPJS Kesehatan lewat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mestinya, kebijakan yang digulirkan dapat memangkas biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

“Mestinya tidak membuat biaya kesehatan semakin mahal,” usulnya.
Tags:

Berita Terkait