Pengawasan Perbankan Dinilai Grey Area Konstitusi
Utama

Pengawasan Perbankan Dinilai Grey Area Konstitusi

Pengalihfungsian pengawasan perbankan dari BI ke OJK tak menghilangkan seluruh fungsi atau kewenangan BI.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Refly Harun. Foto: RES
Refly Harun. Foto: RES
Beberapa waktu lalu, UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kata ‘independen’ dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK, dianggap bertentangan dengan konstitusi. Apalagi, fungsi pengawasan perbankan oleh OJK dianggap tak diatur dalam UUD 1945.

Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, fungsi pengawasan perbankan di konstitusi masuk ke dalam wilayah abu-abu (grey area). Alasannya, dalam konstitusi tepatnya pada Pasal 23D tak disebutkan secara jelas bahwa fungsi pengawasan perbankan dipegang oleh bank sentral.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur di UU. “Jadi sebenarnya di sini ada wilayah yang grey area. Kecuali kalau kewenangan itu secara jelas didefinisikan di konstitusi,” kata Refly kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Menurutnya, apabila OJK mengambil seluruh kewenangan bank sentral, baru dianggap inkonstitusional. Namun, jika hanya sebagian kewenangan, bisa tidak inkonstitusional. “Kalau didefinisikan secara jelas di konstitusi kewenangannya, tidak boleh diambil,” katanya.

Terlebih lagi, lanjut Refly, fungsi kewenangan Bank Indonesia (BI) atau bank sentral dalam UU bukan hanya di sektor perbankan saja, tapi juga moneter. Atas dasar itu, pengalihfungsian pengawasan perbankan dari BI ke OJK tak menghilangkan seluruh fungsi atau kewenangan BI.

Refly mengatakan, jika kewenangan yang diambil menghilangkan jantung dari bank sentral baru bisa inkonstitusional. Namun, jika hanya sebagian kewenangan dan bank sentral masih bisa berjalan, tidak akan inkonstitusional.

“Karena itu kalau seandainya kewenangan ibaratnya menghilangkan jantung bank sentral maka pastilah inkonstitusional. Tapi kalau mengambil sebagian kewenangan bank sentral yang diberikan UU, menurut saya konstitusional.”

Atas dasar itu, pengajuan gugatan fungsi pengawasan perbankan di OJK ke MK harus dilihat lebih jauh lagi oleh lembaga penjaga konstitusi tersebut. Menurutnya, dengan adanya pengalihan fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK, bank sentral tetap masih bisa berjalan. Terlebih lagi, kelahiran lembaga OJK sendiri merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

“Saya lihat, dengan adanya OJK bank sentral masih jalan. Cuma beberapa kewenangan diserahkan kepada OJK, tapi sebagai otoritas, sebagai bank sentral dia masih punya,” tutur Refly.

Terpisah, Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Ucok Sky Khadafi menilai, bahwa keberadaan OJK bertentangan dengan konstitusi. Terlebih lagi dalam hal independensi dan fungsi pengawasan perbankan. Menurutnya, yang diakui dalam UUD 1945 hanyalah bank sentral.

“Dalam konstitusi yang ada hanya bank sentral, jadi OJK itu bertentangan dengan konstitusi,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa mempersoalkan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan OJK. Hal itu dikarenakan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan di OJK tak diatur dalam konstitusi. Permintaan tersebut ditandai dengan adanya pengajuan permohonan uji materi UU tentang OJK ke MK.

Pasal yang diuji merupakan 'jantung' dari keberadaan OJK. Anggota Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa Salamuddin Daeng mengatakan, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945.

Menurutnya, kata 'independen' dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Meski UU-nya digugat ke MK, OJK bersikukuh untuk tetap memungut iuran ke pelaku jasa keuangan.
Tags:

Berita Terkait